JAUH DI MATA,
DEKAT DI MATI
Kalimat itu sebenarnya adalah ucapan salah seorang Kyai yang beberapa
tahun lalu ditujukan pada saya. Sebuah kalimat yang baru beberapa bulan lalu
saya pahami maksudnya.
Ceritanya berawal ketika
saya sowan ke rumah seorang Kyai untuk mengaji Tauhid. Saya berangkat dengan
niat yang luar biasa untuk memperdalam pengenalan saya terhadap Allah. Tapi
sayangnya niat saya tidak sejalan dengan kenyataan yang saya hadapi. Sang Kyai
tidak mau menerima saya sebagai murid. Beliau menyuruh saya untuk memperdalam
ilmu Feqih dulu. Hh….saya yang di pesantren adalah seorang ustadz materi Feqih
malah disuruh untuk memperdalam Feqih. Benar-benar Kyai yang tidak menyenangkan.
Maunya sih langsung pulang.
Tapi siapa juga yang mau datang jauh-jauh tanpa hasil sama sekali. Akhirnya
saya memaksa beliau untuk memberi sebuah wejangan sebelum saya pulang. Tapi
dasar Kyai tidak menyenangkan, beliau menolak. Alhamdulillah, setelah melalui
perdebatan panjang tentang hak tamu, dengan berat hati beliau akhirnya berkata,
“Jauh di mata, dekat di mati”.
Pasti para pembaca bisa
membayangkan betapa dongkolnya hati saya saat itu. Sudah berguru ditolak, eh
ternyata malah dapat wejangan kalimat yang salah. Dekat di hati, kok dibilang
dekat di mati. Jangan-jangan ini Kyai dulunya tidak pernah sekolah.
Subhanallah. Ternyata
Allah berkehendak lain. Kalimat salah yang bertahun tahun berusaha saya lupakan
itu akhirnya menemui kejelasan. Saat itu untuk kesekian kalinya penyakit ginjal
saya kambuh. Rasa sakit yang saya derita luar biasa menyiksa. Saya tidak mampu
mengingat apapun kecuali bahwa ajal saya rasanya sudah dekat. Saya sangat takut
mati. Saya belum siap. Terbayang semua dosa yang selama ini saya lakukan. Yang
bisa saya lakukan saat itu hanya berdzikir pada Allah. Kalaupun ajal harus
datang, saya ingin menemuinya ketika Allah tersenyum, bukan murka.
Kalimat-kalimat Tauhid terus
terucap di bibir dan hati saya. Ya Allah, belum pernah hamba merasakan dzikir
senikmat ini. Air mata saya terus mengalir. Bukan karena saya menahan sakit,
tapi karena nikmat dzikir ini memang luar biasa. Anehnya di saat itu kalimat
salah sang Kyai yang beberapa tahun lalu saya terima tiba-tiba saja
terngiang-ngiang di telinga saya. Jauh di mata, dekat di mati.
Ampuni hamba-Mu ini, ya Rob.
Ternyata kalimat salah itu adalah gambaran pemahaman saya terhadap-Mu. Allah
memang jauh di mata. Allah tidak akan bisa saya saksikan walau dengan teropong
tercanggih sekali pun. Mestinya Allah itu dekat di hati. Tapi bagi hamba nakal
seperti saya nyatanya Allah tidak pernah benar-benar ada di hati saya. Allah
justru sangat terasa ketika saya dekat dengan ke-MATI-an.
Saat saya sedang bahagia,
saya melupakan Allah. Saat saya sedang susah, saya memang berusaha mencari
Allah. Tapi bukan untuk bersujud memohon ampunan-Nya. Saya mencari Allah untuk
protes. Saya merasa sudah banyak yang saya berikan untuk perjuangan menyebarkan
Islam, sehingga saya merasa Allah tidak berhak menimpakan kesusahan dalam hidup
saya. Saya lupa kalau Allah itu Maha Kuasa. Saya lupa kalau Allah adalah Tuhan
saya, bukan teman apalagi anak yang bisa saya protes seenaknya. Jauh di mata, dekat di mati. Ternyata
sebegitu rendahnya cinta saya pada Allah yang selama ini saya promosikan di
majlis-majlis ta’lim.
Ampuni kelalaian dan
kebodohan hamba-Mu yang tak tahu diri ini, ya Allah. Kalau pun boleh, mohon
Engkau sampaikan salam hormat saya untuk sang Kyai pemilik kalimat “jauh di
mata, dekat di mati” yang kini mungkin sedang bernapas lega menyaksikan
pemahaman saya yang akhirnya datang juga.
(Sang
Pendosa)
NB :
|
Maaf saya tidak mencantumkan
nama sang Kyai, karena saya yakin Almarhum tidak berkenan.
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar