Kamis, 13 Juni 2013

JAUH DI MATA, DEKAT DI MATI



JAUH DI MATA, DEKAT DI MATI
Kalimat itu sebenarnya adalah ucapan salah seorang Kyai yang beberapa tahun lalu ditujukan pada saya. Sebuah kalimat yang baru beberapa bulan lalu saya pahami maksudnya.

Ceritanya berawal ketika saya sowan ke rumah seorang Kyai untuk mengaji Tauhid. Saya berangkat dengan niat yang luar biasa untuk memperdalam pengenalan saya terhadap Allah. Tapi sayangnya niat saya tidak sejalan dengan kenyataan yang saya hadapi. Sang Kyai tidak mau menerima saya sebagai murid. Beliau menyuruh saya untuk memperdalam ilmu Feqih dulu. Hh….saya yang di pesantren adalah seorang ustadz materi Feqih malah disuruh untuk memperdalam Feqih. Benar-benar Kyai yang tidak menyenangkan.
Maunya sih langsung pulang. Tapi siapa juga yang mau datang jauh-jauh tanpa hasil sama sekali. Akhirnya saya memaksa beliau untuk memberi sebuah wejangan sebelum saya pulang. Tapi dasar Kyai tidak menyenangkan, beliau menolak. Alhamdulillah, setelah melalui perdebatan panjang tentang hak tamu, dengan berat hati beliau akhirnya berkata, “Jauh di mata, dekat di mati”.
Pasti para pembaca bisa membayangkan betapa dongkolnya hati saya saat itu. Sudah berguru ditolak, eh ternyata malah dapat wejangan kalimat yang salah. Dekat di hati, kok dibilang dekat di mati. Jangan-jangan ini Kyai dulunya tidak pernah sekolah.
Subhanallah. Ternyata Allah berkehendak lain. Kalimat salah yang bertahun tahun berusaha saya lupakan itu akhirnya menemui kejelasan. Saat itu untuk kesekian kalinya penyakit ginjal saya kambuh. Rasa sakit yang saya derita luar biasa menyiksa. Saya tidak mampu mengingat apapun kecuali bahwa ajal saya rasanya sudah dekat. Saya sangat takut mati. Saya belum siap. Terbayang semua dosa yang selama ini saya lakukan. Yang bisa saya lakukan saat itu hanya berdzikir pada Allah. Kalaupun ajal harus datang, saya ingin menemuinya ketika Allah tersenyum, bukan murka.
Kalimat-kalimat Tauhid terus terucap di bibir dan hati saya. Ya Allah, belum pernah hamba merasakan dzikir senikmat ini. Air mata saya terus mengalir. Bukan karena saya menahan sakit, tapi karena nikmat dzikir ini memang luar biasa. Anehnya di saat itu kalimat salah sang Kyai yang beberapa tahun lalu saya terima tiba-tiba saja terngiang-ngiang di telinga saya. Jauh di mata, dekat di mati.
Ampuni hamba-Mu ini, ya Rob. Ternyata kalimat salah itu adalah gambaran pemahaman saya terhadap-Mu. Allah memang jauh di mata. Allah tidak akan bisa saya saksikan walau dengan teropong tercanggih sekali pun. Mestinya Allah itu dekat di hati. Tapi bagi hamba nakal seperti saya nyatanya Allah tidak pernah benar-benar ada di hati saya. Allah justru sangat terasa ketika saya dekat dengan ke-MATI-an.
Saat saya sedang bahagia, saya melupakan Allah. Saat saya sedang susah, saya memang berusaha mencari Allah. Tapi bukan untuk bersujud memohon ampunan-Nya. Saya mencari Allah untuk protes. Saya merasa sudah banyak yang saya berikan untuk perjuangan menyebarkan Islam, sehingga saya merasa Allah tidak berhak menimpakan kesusahan dalam hidup saya. Saya lupa kalau Allah itu Maha Kuasa. Saya lupa kalau Allah adalah Tuhan saya, bukan teman apalagi anak yang bisa saya protes seenaknya. Jauh di mata, dekat di mati. Ternyata sebegitu rendahnya cinta saya pada Allah yang selama ini saya promosikan di majlis-majlis ta’lim.
Ampuni kelalaian dan kebodohan hamba-Mu yang tak tahu diri ini, ya Allah. Kalau pun boleh, mohon Engkau sampaikan salam hormat saya untuk sang Kyai pemilik kalimat “jauh di mata, dekat di mati” yang kini mungkin sedang bernapas lega menyaksikan pemahaman saya yang akhirnya datang juga.

(Sang Pendosa)
NB :
Maaf saya tidak mencantumkan nama sang Kyai, karena saya yakin Almarhum tidak berkenan.

Tidak ada komentar: