SALAH KAPRAH PEMAHAMAN SYA’IR GUS DUR
Ojo mung ngaji syare’at bloko,
Jangan hanya belajar syariat saja.
Sebuah kalimat yang sedang trend dan
sengaja atau tidak ikut mendongkrak
jumlah pengikut thoriqoh & pengajian
haqiqoh di Nusantara.
Tapi benarkah kita memang harus mempelajari thoriqoh dan
haqiqoh?
Gimana pun saya akan mengawali artikel ini dengan
menyatakan “lepas dari segala kekurangan KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur)
sebagai manusia, beliau adalah salah satu tokoh terbaik yang pernah dimiliki
oleh Indonesia”.
Syair Jawa yang disampaikan oleh Gud Dur tiba-tiba
saja booming di Indonesia, terutama
di Jawa Timur. Hampir di tiap masjid (NU) dan musholla selalu terdengar syair
itu dikumandangkan lewat pengeras suara. Sebuah syair berbahasa sederhana
dengan makna
luar biasa. Sebuah syair yang dinyanyikan dengan suara beliau yang
terus terang nggak bisa dibilang merdu, tapi sangat mengena di hati saya tiap
kali mendengarnya. Akan sangat bijaksana kalau makna syair itu diterapkan oleh
umat Islam. Tapi tentu saja akan sangat memprihatinkan kalau lantaran syair itu
lantas ada oknum yang menyatakan “Yang nggak ikut thoriqoh dan ngaji haqiqoh
itu salah. Tuh dengar! Gus Dur aja bilang kayak gitu”. Yang pasti, pendapat
yang memprihatinkan itu dipicu oleh kalimat “Ojo mung ngaji syareat bloko”, jangan hanya ngaji syare’at aja.
Sebenarnya kalimat itu nggak akan jadi masalah kalau
dipahami dengan kemampuan berbahasa yang benar kok. Jangan hanya ngaji syare’at
aja. Itu artinya kita emang nggak boleh cuma berhenti pada pemahaman syari’at.
Kita harus terus mengejar pemahaman yang lebih dari sekedar syari’at. Bisa jadi
pemahaman yang dimaksud itu adalah haqiqoh. Tapi……pelajari haqiqoh itu kalau
kita sudah benar-benar paham dengan syari’at.
Yang sangat memprihatinkan, saya banyak menemui
kalangan yang bersemangat menyombongkan diri dengan pemahaman yang menurut
mereka adalah haqiqoh setelah berguru pada guru yang “katanya” luar biasa.
Padahal di sisi lain mereka ini langsung diam ketika ditanya apa aja perkara
yang bisa membatalkan wudlu. Dengan gagah mereka memperbincangkan haqiqoh
sholat, tapi nyatanya nggak benar-benar paham syarat dan rukun sholat. Jangan hanya
mempelajari syari’at, berarti pelajari syariat dengan benar dan
lengkap. Setelah itu jangan lantas berhenti. Pelajari juga haqiqoh. Dengan kata
lain, jangan coba pelajari haqiqoh, kalau kita belum paham syari’at.
Jujur
aja saya lebih sependapat dengan kalangan yang menyatakan kalau thoriqoh dan
haqiqoh akan dengan sendirinya kita pahami kalau kita terus mendalami dan
menjalani syari’at dengan benar serta nggak pernah berhenti berguru dan
belajar. Tapi saya juga sangat menghormati kalau ada yang menyatakan kalau
mengikuti thoriqoh dan mengaji haqiqoh dianggap sebagai level, selama
orang-orang yang menyetujui pendapat ini tetap mengutamakan syariat ala praktek
Nabi Muhammad.
Hh….sayangnya
Gus Dur sudah wafat. Seandainya beliau masih ada, bisa jadi ada 2 kemungkinan
reaksi dari beliau. Pertama, beliau akan menjelaskan makna sebenarnya dari
syair beliau. Kedua, beliau akan mengatakan, “Gitu aja kok repot”. Bukan karena
beliau nggak perduli. Tapi semata-mata karena beliau ingin kita punya inisiatif
belajar, bukannya menunggu hidangan klarifikasi.
(Elfath Satria)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar