AIR MATA TAK SELALU AIR MATA
“ Innaa lillaahi Wa’innaa
ilaihi rooji’un. Telah pulang ke Rahmatullah KH. Ma’shum Ahmad pada sore hari ini. Beliau meninggal karena sakit di
Rumah Sakit Islam Siti Hajar Sidoarjo. Saat pemakaman menunggu berita
selanjutnya. Sekali lagi….. “. Pengumuman berita wafatnya guru saya lewat
pengeras suara masjid pesantren di tahun 1996 itu sampai kini masih terngiang
di telinga saya. Masih jelas di ingatan saya, saat itu air mata saya tak
tertahankan langsung menetes. Suara tangis ratusan santri segera saja memenuhi
seluruh area pesantren Al-Hidayah. Bahkan ada pula yang sampai mengulang budaya
Jahiliyah dengan menangis meraung-raung di atas tanah. Kami semua sangat sedih.
Tak satu pun dari kami yang tidak menangis. Tapi apakah kami memang benar-benar
merasa kehilangan beliau?
Kini 17 tahun sudah KH. Ma’shum
Ahmad mengakhiri perjuangan dakwah beliau. Bukan karena beliau ingin, tapi
karena beliau harus. Sosok Kyai sederhana itu pastilah ingin selalu berjuang
menyebarkan Islam. Tapi sebuah perjuangan dakwah membutuhkan satu modal yang
tidak terbantahkan keberadaannya, HIDUP. Tanpa kata sakti yang satu itu sebuah
perjuangan tidak akan pernah ada. Tapi benarkah tangis saya 17 tahun yang lalu
itu karena sebuah kehilangan? Kalau memang benar, saya kehilangan apa
sebenarnya hingga perlu untuk menangis.
Saya sering melihat orang-orang menangis saat orang yang mereka cintai meninggal dunia. Saya pikir mereka semua nangisnya memang beneran karena merasa kehilangan. Ternyata enggak. Pas saya tanya, Hh...jawabannya "Lha kalau bapaknya udah nggak ada, terus sekolah anak-anak saya nanti gimana, Mas?". Jadi lagi menangisi dompetnya toh. Waduh. Syukurlah masih ada yang menjawab, "Beliau itu orang yang sangat berarti buat saya. Belum tuntas saya membalas jasa beliau, eh beliau udah meninggal duluan".
Terus saya dulu menangisi wafatnya guru saya karena apa dong. Kalau dipikir-pikir......sepertinya saya menangis karena saya merasa tidak ada lagi yang akan menasehati saya dengan sabar. Tidak akan ada lagi yang mampu memahami kenakalan saya dengan tulus. Kemampuan almarhum KH. Ma'shum Ahmad ternyata jauh lebih berarti bagi saya dibanding keberadaan beliau di sisi saya. Sebab kalau memang keberadaan beliau berarti bagi saya, seharusnya saya tetap menjalani hidup dengan ajaran-ajaran lurus yang sudah beliau contohkan, bukannya seenaknya sendiri seperti sekarang. Lantas apa bedanya saya dengan seorang anak yang tidak terlalu sedih saat ditinggal wafat oleh orang tuanya hanya gara-gara dia sudah memiliki pekerjaan yang mapan?
Sudah seharusnya saya tidak lagi punya keberanian untuk mendongakkan kepala, karena 17 tahun yang lalu itu saya sebenarnya sedang menangisi kemalangan saya sendiri, bukan menangisi kepergian beliau. Sama halnya ketika saya menangisi wafatnya nenek saya. Saat itu saya masih duduk di kelas 6 SD. Tidak ada lagi orang yang akan memberi saya uang saku tambahan. Tidak ada lagi orang yang akan membela saya saat ayah dan ibu memarahi saya. Hh....kejujuran memang terkadang menyakitkan. Tapi itulah kenyataannya.
Ya Allah. Di sisa hidup saya ini, tolong ajari hamba-Mu ini untuk menangis dengan cara dan alasan yang benar. Paling tidak agar saya tidak perlu menjadi seorang aktor handal ketika berziarah ke makam orang-orang yang mencintai saya tapi "tidak terlalu" saya cintai. Air mata tak selalu air mata.
(Sang Pendosa)
Terus saya dulu menangisi wafatnya guru saya karena apa dong. Kalau dipikir-pikir......sepertinya saya menangis karena saya merasa tidak ada lagi yang akan menasehati saya dengan sabar. Tidak akan ada lagi yang mampu memahami kenakalan saya dengan tulus. Kemampuan almarhum KH. Ma'shum Ahmad ternyata jauh lebih berarti bagi saya dibanding keberadaan beliau di sisi saya. Sebab kalau memang keberadaan beliau berarti bagi saya, seharusnya saya tetap menjalani hidup dengan ajaran-ajaran lurus yang sudah beliau contohkan, bukannya seenaknya sendiri seperti sekarang. Lantas apa bedanya saya dengan seorang anak yang tidak terlalu sedih saat ditinggal wafat oleh orang tuanya hanya gara-gara dia sudah memiliki pekerjaan yang mapan?
Sudah seharusnya saya tidak lagi punya keberanian untuk mendongakkan kepala, karena 17 tahun yang lalu itu saya sebenarnya sedang menangisi kemalangan saya sendiri, bukan menangisi kepergian beliau. Sama halnya ketika saya menangisi wafatnya nenek saya. Saat itu saya masih duduk di kelas 6 SD. Tidak ada lagi orang yang akan memberi saya uang saku tambahan. Tidak ada lagi orang yang akan membela saya saat ayah dan ibu memarahi saya. Hh....kejujuran memang terkadang menyakitkan. Tapi itulah kenyataannya.
Ya Allah. Di sisa hidup saya ini, tolong ajari hamba-Mu ini untuk menangis dengan cara dan alasan yang benar. Paling tidak agar saya tidak perlu menjadi seorang aktor handal ketika berziarah ke makam orang-orang yang mencintai saya tapi "tidak terlalu" saya cintai. Air mata tak selalu air mata.
(Sang Pendosa)
2 komentar:
air mata tak selalu air mata, tapi air mata = air seni
salah satu "SENI" Tuhan untuk mngajarkan perlux rendah hati
Posting Komentar