JALAN MENUJU ALLAH SELALU MASIH TAHAP PEMBANGUNAN
Para demonstran itu dengan beringas melempari polisi dengan
batu. Mereka marah karena para polisi bermaksud membuka blokir jalan mereka.
Mereka cuma meminta sebuah hal sederhana dengan birokrasi yang sangat tidak
sederhana, tolong perbaiki akses jalan di desa kami. Singkat cerita, pemkot
setempat menjadi gerah dan akhirnya satu minggu kemudian jalan raya yang
berlubang-lubang itu sudah berubah menjadi mulus. Mudah dan cepat sekali.
Kalaupun kadang menjadi sangat lama sampai perlu diekspos besar-besaran dulu
lewat media massa, paling tidak jalanan akan kembali mulus.
Andai jalan menuju Allah bisa dibangun semudah itu, mungkin
Allah tidak perlu menciptakan neraka. Sayangnya jalan menuju Allah tidak bisa
seperti itu. Kalau kita berdemo dengan beringas, Allah tidak akan pernah merasa
terganggu. Misal secara ekstrim kita lantas merusak masjid karena itu adalah
rumah Allah, bukannya jalan mulus yang akan Dia anugrahkan, tapi lemparan adzab
yang akan segera kita terima.
Jalan saya menuju Allah berlubang-lubang tidak karuan. Dulu
saat saya masih hanya bisa mengucapkan oek-oek (bayi), jalan itu mulus.
Jangankan lubang, kerikil pun tidak ada. Tapi kini ribuan kemaksiyatan yang
saya lakukan menciptakan lubang-lubang besar yang membuat saya sering terjungkal
ketika melintasinya. Apakah saya perlu meminta tolong pada semua stasiun
televisi untuk menyiarkan lubang-lubang itu? Tidak mungkin. Yang akan malu
justru saya, bukan Allah. Para demonstran bisa saja berteriak di layar TV “Hai,
Pemerintah! Jalan kami menuju istanamu berlubang-lubang. Perbaiki dong!”. Tapi
apakah saya juga boleh berkata di acara TV “Wahai, Allah! Jalan saya menuju
istana-Mu berlubang-lubang. Perbaiki dong!”
Saya mesti memperbaiki sendiri jalan itu. Sebab jalan saya
menuju istana Allah bukan jalan umum. Saya bisa saja minta bantuan para Ulama.
Tapi mereka hanya boleh menjadi mandor. Pekerjanya sih tetap saya seorang.
Susahnya lagi jalan saya tidak pernah menemui kata selesai. Tiap kali hampir
mulus di ujung, di ujung yang lain bahkan ditengahnya selalu muncul lubang yang
baru hingga tidak bisa saya lewati. Susahnya lagi saya tidak bisa menyalahkan
siapapun, karena jalan itu hanya saya lewati sendiri.
Saya tidak berharap proyek jalan saya ke istana Sang Maha itu
akan selesai, karena memang jalan itu tidak akan pernah selesai. Jalan itu
selalu masih dalam tahap pembangunan. Bahkan seandainya saya menjadi seorang
Kyai pun; walau tidak banyak; lubang itu tetap akan ada. Hanya Nabi Muhammad
SAW. saja yang pernah menyelesaikan pembangunan jalannya. Tapi mengapa saya
masih tetap saja malas untuk melanjutkan pembangunannya. Padahal saya tahu
persis kalau jalan yang berlubang itu hanya akan berujung di kemurkaan Allah,
bukan ke istana-Nya. Entahlah.
(Kuli
Neraka)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar