Rabu, 23 Juli 2014

AMALIYAH LANGKA DI MOMEN IDUL FITRI

Amaliyah Langka Di Momen Idul Fitri
Bersalaman sambil bermaaf-maafan di hari raya Idul Fitri sudah jelas biasa kita lakukan. Demikian pula dengan membagikan angpao lebaran pada anggota keluarga. Mengirimkan parcel pada rekan kerja pun juga sudah menjadi tradisi. Jadi masih adakah amaliyah utama lain di momen Idul Fitri yang masih jarang kita lakukan? Berikut adalah daftar amaliyah utama yang mulai kita tinggalkan atau bahkan mungkin belum pernah kita lakukan sebagai seorang muslim.
1. Berkunjung Ke Rumah Guru Bersama Keluarga.
Berkunjung ke rumah guru; baik guru sekolah maupun guru ngaji; memang masih sering dilakukan di Indonesia, khususnya di daerah pedesaan. Apalagi banyak sekolah yang kini menjadikan hal tersebut sebagai kegiatan wajib berupa pengumpulan tanda tangan guru yang harus diserahkan pada wali murid ketika kegiatan belajar sekolah sudah dimulai. Tetapi akan beda lagi kenyataannya kalau kita mencoba bertanya, apakah wali muridnya juga ikut berkunjung?
Jalinan hubungan yang akrab antara guru dan wali murid sebenarnya tidak terbantahkan urgensinya (kepentingannya) di era global seperti saat ini. Hubungan yang akrab antara guru dan wali murid mau tidak mau akan membuat putra putri kita lebih terawasi. Sebab para guru akan dengan cepat (tanpa segan) segera memberi informasi manakala putra putri kita bermasalah di sekolah. Momen Idul Fitri mestinya menjadi jawaban paling tepat untuk mengawali hal tersebut. Bukankah anak-anak jaman dulu lebih terawasi dan terdidik lantaran jarang sekali ada guru dan wali murid yang tidak saling kenal dengan baik?
2. Pakaian Baru Untuk Tetangga Dlu’afa.
Seringkali kita merasa sudah terbebas dari kewajiban sosial Idul Fitri setelah menyerahkan zakat fitrah dan menyumbang beberapa rupiah untuk yayasan anak yatim dan dlu’afa. Padahal sebagai orang tua tentunya kita menyadari bahwa hal yang seringkali paling membingungkan di momen Idul Fitri tidak lain adalah membeli baju baru untuk anak-anak kita.
Kebingungan itu pula sebenarnya yang dialami oleh para orang tua dari kalangan dlu’afa. Faktanya mereka lebih membutuhkan uang untuk membeli baju baru bagi anak-anaknya, dibandingkan dengan menyiapkan beras untuk makan. Sekali lagi momen Idul Fitri adalah momen yang paling tepat untuk mengawali hal tersebut. Sebab bukankah pemberian/sodaqoh terbaik adalah dengan cara memberikan apa yang paling dibutuhkan?
3. Memberi Hadiah Untuk Orang Tua.
Suatu ketika saya pernah menyuruh salah satu anak didik saya yang berasal dari keluarga kaya untuk menabung dengan cara menyisihkan sebagian uang saku sekolahnya. Tujuannya hanya satu. Saya ingin agar dia membelikan pakaian baru untuk ayahnya yang (maaf) kebetulan tergolong pemarah.
Awalnya murid saya itu menolak dengan alasan membeli pakaian baru bukanlah hal yang sulit untuk ayahnya yang berduit. Tapi tetap saja saya memaksanya. Faktanya, ketika akhirnya dia memberikan pakaian baru itu dalam kado yang terbungkus rapi, sang ayah langsung memeluknya sambil menangis. Ternyata memberikan hadiah dari usaha sendiri adalah hal yang sangat indah bagi orang tua kaya raya sekalipun.
4. Mengunjungi Rumah Karyawan.
Karyawan berhari raya ke rumah atasan, tentu bukan hal yang luar biasa. Sebab hal tersebut seakan sudah menjadi agenda wajib yang cukup efektif untuk “menghapus” kerasnya isi SP (Surat Peringatan) yang kemungkinan pernah diterima. Atau setidaknya sebagai forum tidak resmi untuk menguatkan ikatan kerja. Tetapi pernahkah Anda membayangkan bagaimana akibatnya jika seorang pimpinan perusahaan/lembaga menyempatkan diri berkunjung secara pribadi ke rumah beberapa karyawannya, apalagi yang kebetulan bermasalah dengan perusahaan/lembaga yang dipimpinnya?
5. Merupakan Tanggung Jawab Bersama.
Point berikutnya adalah tugas kita bersama untuk terus mencari, sebenarnya amaliyah apa saja yang seharusnya kita lakukan di momen Idul Fitri. Tidak perlu harus menemukan jawaban yang sama. Sebab kondisi masing-masing kita yang berbeda tentu saja akan memunculkan alternatif jawaban yang cenderung berbeda pula.
Idul Fitri adalah sebuah momen yang indah tiada tara. Agama dan budaya kita pun sudah membuat aturan-aturan luar biasa yang mendukung keindahannya. Tetapi tetap saja kita sebagai orang beragama yang notabene makhluk sosial akan selalu menemukan alternatif-alternatif baru selama kita memandang bahwa amaliyah kita harus selalu mengalami peningkatan menuju tingkat yang lebih baik. Wallahu A’lam Bil Showaab.

(Alfin Fauziyah)



Selasa, 29 April 2014

SANTRI KEHILANGAN PENERANGAN

SANTRI KEHILANGAN PENERANGAN
“Hhh….alumni pesantren kok malah jadi pimpinan aliran sesat. Lama-lama gatal juga telinga kalau dengar kalimat itu. Mau ngebantah….faktanya yang kayak gitu emang lumayan banyak. Alumni pesantren tapi keblinger. Mending kalau cuma nakal tindakan. Ini nakalnya urusan aqidah. Padahal nyantrinya lumayan lama lho. Berikut ini hasil survey saya sehubungan sama beberapa penyebab kenapa santri yang udah lama banget di pesantren masih juga terpeleset ke aliran yang nggak benar.

1. Tawadlu’ Lebay Pada Kyai.
Saya masih ingat betul gimana marahnya para ustadz gara-gara saya berbeda pendapat sama Pak Kyai (almarhum). Katanya saya tuh nggak tawadlu’. Padahal saat itu Pak Kyai tenang-tenang aja. So what gitu loh. Berbeda pendapat sama guru itu sah-sah aja selama kita nyampaikannya dengan etika yang benar. Jangan pernah lupa kalau guru kita itu cuma manusia yang masih mungkin salah. Jangan pernah lupa juga kalau Imam Syafi’i adalah murid Imam Maliki dan Imam Hanafi. Tapi nyatanya madzhab beliau berbeda dengan kedua gurunya. Faktanya, Imam Syafi’i nggak kualat.
Pesantren adalah tempat mencetak agamawan yang mandiri dalam mencetuskan pemahaman atas sebuah hukum, bukan mencetak agamawan yang apa kata Pak Kyai. Kyai kita bukan makhluk abadi yang bisa selalu mendampingi kita. Beliau pada saatnya akan berhadapan dengan kata wafat. So penting banget bagi santri untuk nggak bergantung mutlak pada Kyai.
Agamawan keblinger akan bilang, “Kalau kata Pak Kyai sih hukumnya begini”. Sedang agamawan sejati akan bilang, “Kalau berdasarkan dalil ini, maka hukumnya begini”.

2. Wawasan Pengetahuan Umum Yang Minim.
Allah nggak pernah ngebedain ilmu agama dengan ilmu umum. Lewat baginda Nabi, Allah menyatakan wajibnya mencari ilmul haal atau ilmu yang dibutuhkan secara kondisional. Kalau kita butuh lulus sekolah, itu berarti wajib bagi kita untuk mengusai ilmu sekolah. Kita lagi dituntut bisa bikin rumah, berarti kita wajib belajar ilmu pertukangan. Kita mempelajari ilmu agama, berarti kita juga wajib menguasai ilmu umum yang bisa mendukung pemahaman kita menjadi lebih baik.
Seandainya kita paham ilmu geografi dengan baik, nggak bakalan ada santri yang takjub mendengar ada orang Indonesia yang nggak tidur di waktu sholat Jum’at dengan alasan dia sholat di Arab. Sebab kita jelas paham kalau waktu di Indonesia dan Arab terpaut sekitar 4 jam. Itu artinya ketika adzan Dzuhur dikumandangkan di Indonesia, maka di Arab masih sekitar jam 8 pagi. So tuh orang jama’ah Jum’at sama siapa???
Wawasan umum akan bikin kita paham bahwa rokok yang dimaksud dalam banyak kitab feqih itu beda sama rokok yang kita kenal saat ini. Kita juga jadi tahu kalau dlob (biawak) Arab yang dalam hadits jelas beda sama biawak Indonesia. Kita juga jadi tahu kalau bola udah diciptakan oleh orang Yunani jauh sebelum tragedi Karbella (So jangan sembarangan mengharamkan sepak bola). Bahkan kita juga nggak bakal sok tahu mengharamkan babi dengan alasan cacing pita, sebab fakta biologi menyatakan bahwa cacing pita di tubuh sapi jauh lebih banyak dibanding pada tubuh babi.
Singkat kata, ilmu umum membuat otak kita terbentuk tetap rasional. Otak rasional selalu menuntut sebuah bukti. Bukan sekedar dengar dan percaya tanpa bukti yang nyatanya bikin banyak santri jadi keblinger sama oknum agamawan palsu yang jago omong kosong. So kalau dengar ada guru spiritual yang bisa terbang, bilang aja “Tolong tunjukin ke saya dong. Sebentaaaaaar aja”. Jangan langsung bilang WOW tanpa bukti. Oke?

3. Minim Jam Terbang.
Terus terang saya nggak setuju sama pesantren yang terlalu “memenjarakan” santri. “Mau nyantri di sini? Lepas semua contact dengan dunia luar !! “. Padahal kan kita hanya bisa jadi matang kalau terbiasa menghadapi masalah, bukan malah lari dari masalah.
Contoh kecilnya, saya merasa sangat beruntung ketika dulu almarhum Pak Kyai memberi saya ijin untuk bergaul dengan beberapa dukun ternama di pulau Jawa. Pak Kyai mendampingi saya, bukan melepas saya. Beliau memberi bantahan rasional (lewat diskusi obyektif) atas semua hal ajaib yang saya temui pada diri para dukun. So saya jadi lebih bisa ngebedain mana yang dukun dan mana yang waliyulloh di saat dua kubu yang berbeda itu lagi sama-sama ajaib.
Singkat kata, sistem pesantren seharusnya jangan melarang santri untuk bergaul akrab dengan siapapun. Cukup berikan batasan lunak tapi tegas, bukan sebuah penjara. Setidaknya berikan pengertian gamblang bahwa peribahasa “bagai katak dalam tempurung” itu emang beneran berbahaya. Bukan sekedar bahaya ke sikap. Tapi bahkan pada akidah. Salam hormat dan dukungan penuh saya untuk pesantren yang menerapkan wajib TURBA bagi santri dengan didampingi ustadz yang mumpuni.

Semoga artikel ini bisa jadi bahan perenungan bagi siapapun yang membacanya. Paling nggak akan bikin kita ingat bahwa tugas santri adalah menyebarkan agama, bukan memelesetkannya. Patut diingat bahwa baginda Nabi nggak pernah membatasi minat belajar dan pergaulan beliau dengan siapapun. Tapi beliau tetap jadi sosok yang memberi pengaruh lho, bukan malah dipengaruhi. So semoga santri yang mulai kehilangan arah segera mendapat hidayah dari Allah. Kesalahan adalah hal biasa selama diikuti dengan pengakuan plus pertaubatan yang sesuai. Good Luck !!

(El-Fath Satria)

Kamis, 17 April 2014

CARI ISTRI ATAU PEMBANTU

CARI ISTRI ATAU PEMBANTU
“Buruan nikah biar entar ada yang nyuciin baju kamu”, setidaknya itulah yang dulu sering diucapin sama para senior di saat saya masih bujang. Seperti biasa, reaksi pertama saya adalah bingung. Sebenarnya saya disuruh cari istri atau pembantu sih.

Ratusan abad yang lalu Baginda Nabi mati-matian memperjuangkan hak-hak kaum Hawa. Ratusan tahun yang lalu, R.A. Kartini juga sampai harus berseteru dengan banyak pihak demi sebuah emansipasi. Tapi kenapa di masa kini kita malah seakan lupa sama kerasnya perjuangan 2 tokoh mulia itu? Kita seakan lupa pada materi pelajaran sejarah yang kita dapat di bangku sekolah.

Di masa Jahiliyah, wanita tak ubahnya benda mati yang boleh diapa-apain. Boleh disuruh-suruh, disiksa, bahkan dikubur hidup-hidup tanpa alasan. Nggak bakal ada polisi apalagi komnas HAM yang akan membela hak para wanita tertindas itu. Hal ini beda tipis sama masa R.A. Kartini. Sama-sama nggak diakui haknya. Hanya aja wanita di jaman ini nggak ada yang sampai dikubur hidup-hidup.

Berpindah dari jaman Jahiliyah (kebodohan) menuju jaman pendidikan. Dalam urusan memperjuangkan hak wanita, moto perjuangan Baginda Nabi dan R.A. Kartini notabene sama. So kenapa sekarang para istri serta merta dianggap durhaka ketika nggak mau ngurusin cucian, setrika dan tetek bengek repotnya bersih-bersih rumah? Istri durhaka kalau tiap pagi nggak mau nyiapin kopi panas buat suami. Walhasil yang terlihat bukan sebuah rumah tangga yang indah, tapi justru nuansa perbudakan ala keraton.

Islam secara jelas mengajarkan bahwa rumah tangga adalah penyatuan dua insan menuju kehidupan yang lebih baik. Itu artinya rumah tangga bukan sebuah kesempatan untuk memperbudak. Tapi rumah tangga adalah sebuah manifestasi team work. Rumah tangga itu kerja sama tim. Rumah tangga itu management terkendali dengan cinta dan saling menghargai sebagai prinsip utamanya.

Friends, kalau kita nyobain cari dalil yang ngedukung “perbudakan’ kita pada istri, dijamin nggak bakal ada. Sebab Baginda Nabi dulunya justru berusaha menghapus penindasan terselubung itu. So buat siapapun yang udah nikah, utamakan team work dong. Pakaian, kamar mandi, lantai, piring, dan semua perabot yang kotor pada dasarnya adalah tanggung jawab bersama. Bijak banget kalau tanggung jawab itu dijalani bersama. Nggak fair banget kalau para suami menuntut agar istri wajib selalu tampil menarik, sementara sang istri dibebani dengan tetek bengek urusan rumah yang seabrek.

Suami kan udah sibuk kerja? Jangan pura-pura lupa lho kalau Baginda Nabi dan para sahabat dulunya juga sibuk kerja. Tapi sejarah nggak pernah mencatat kalau orang-orang mulia itu pernah memperbudak istri mereka.

Suami tercipta untuk memberikan perlindungan pada istri. So malu-maluin banget kalau sampai ada suami yang istrinya sampai harus kelelahan lantaran ngurusin rumah sendirian. Beneran bukan suami yang gentle.
Tolong direnungi dengan sebuah jiwa besar. Siapa pun yang “memperbudak” istri secara sepihak sebenarnya nggak ada bedanya sama orang yang pengen menghidupkan lagi nuansa Jahiliyah yang udah ratusan abad terkubur.

(El-Fath Satria)

Senin, 07 April 2014

TREND MA'SIYAT VERSUS BANJIR USTADZ

TREND MA’SIYAT VS BANJIR USTADZ
Dakwah Islam makin berkembang. Media dakwah juga makin beragam; mulai dari pengajian langsung, jamaah istighosah, TV, majalah, bahkan dibarengin sama konser musik; yang jelas…beragam. Jam 5 pagi, TV kita udah dipenuhi acara dakwah, terus aja ada sampai malam. Wow! Alhamdulillah dakwah Islam udah bukan perkara yang susah lagi buat dikembangkan. Jumlah ustadz yang bermunculan pun mulai susah dihitung. Tapi…….kenapa orang yang ma’siyat kok juga ikutan jadi tambah banyak ya? Harusnya kan kalau ustadznya banyak, kema’siyatannya harus jadi berkurang. Berikut ini beberapa kemungkinan penyebabnya :
1. Jago Bicara Tanpa Ilmu.
Tutur kata yang indah udah jadi kewajiban yang harus dimiliki oleh para ustadz masa kini. Seringkali bahkan berbicara ala birama sajak. Tapi ketika sang ustadz mulai membaca dalil…….astaghfirullohal ‘Adzim, ternyata bacaan alQur’an sang ustadz jauh dari kata fasih, harokat haditsnya banyak yang nyelonong, bahasa Arab pun nggak paham. Setidaknya ini adalah realita dari salah satu tanda kiamat yang pernah diungkapkan oleh baginda Nabi dengan qoliilul ulama’ (jumlah ulama makin sedikit), tapi katsiirul khuthobaa’ (jago bicara makin banyak).

2. Ustadznya Nggak Gaul.
Lho…ustadz sekarang kan pada berpenampilan gaul??? Bukan gitu yang diajarin sama Nabi Muhammad. Berpenampilan gaul itu boleh kok. Tapi yang wajib sebenarnya adalah seorang ustadz harus mau bergaul sama umatnya. Ustadz nggak boleh memposisikan diri bagai perhiasan mahal dalam kotak kaca. Jangankan disentuh, didekati aja susahnya minta ampun. Cara memandang diri sendiri terlalu tinggi pada akhirnya justru bikin ada batasan yang terlalu tebal antara ustadz dengan umatnya.
3. Salah Kaprah Ballighu ‘Anny Walau Ayat.
Sampaikanlah walau satu ayat. So kita semua wajib jadi juru dakwah, walau ilmu kita baru secuil. Hm….Silahkan dicek di buku-buku hadits. Hadits tersebut sebenarnya disabdakan oleh baginda Nabi sebagai perintah menyebarkan hadits. Artinya kalau ada sahabat yang kebetulan mendengar sebuah hadits dari beliau, sahabat itu beliau suruh buat nyampaikan ke sahabat yang lain. Sampaikan persis, tanpa mengurangi, apalagi menambah. Jadi juru dakwah itu ada syarat-syaratnya lho. Bukannya sekedar bisa bicara, terus jadi merasa layak.
4. Pakai Lisan, Bukan Uswah.
Dalam surat al Ahzaab 21 ditegaskan bahwa Nabi Muhammad adalah uswatun hasanah (suri tauladan yang baik). Allah tidak semata-mata menciptakan baginda Nabi sebagai presentator. Tapi Allah justru menjadikan beliau sebagai contoh. Materi utama dakwah Nabi adalah diri beliau sendiri. Sahabat menjadi baik, karena beliau juga baik. Sahabat menjadi dermawan, karena beliau dermawan. Yang pasti beliau mengungkapkan ajaran Islam lebih lewat suri tauladan tindakan, bukan sekedar bicara lalu tindakannya mengingkari ucapan beliau sendiri. Sebagai makhluk paling mulia, baginda Nabi tanpa segan ikut menggali parit bersama sahabat dalam perang Khondaq. Jadi aneh banget kalau ada ustadz muda yang lantas merasa nggak pantas ikut tergabung aktif alias terkena darah dalam panitia penyembelihan di momen Idul Adha. Yang paling mengenaskan, jelas bukan sesuatu yang membanggakan jika lantas ada ustadz yang justru diminati lantaran gaya genitnya. Uswah-kah?
5. Mencari Hidup Dengan Agama.
Saya mendukung pendapat yang menyatakan bahwa menerima “imbalan” untuk dakwah yang disampaikan itu BOLEH. Tapi jangan lantas hanya berdakwah ketika ada amplop dong. Perhatikan gaya hidup para Ulama yang original. Ulama original memang ada yang berdakwah dengan fasilitas antar jemput plus amplop tunai. Tapi Ulama original nyatanya juga punya kegiatan pengajian “gratis”, baik dirumahnya sendiri atau di kawasan tertentu. So menerima amplop tunai itu hak. Tapi berdakwah tanpa memperhitungkan amplop itu adalah mutlak sebuah kewajiban.
6. Berhenti Belajar.
“Saya ini ustadz. Tugas saya mengajar, bukan belajar”. Setidaknya itulah yang sering tersirat dari beberapa ustadz kita. Padahal sang ustadz tanpa ragu sering mengatakan tentang wajibnya mencari ilmu hingga mati. Semoga aja nggak ada pembaca yang menemui kenyataan seperti yang saya saksikan. Sering banget saya menemui beberapa teman alumni pesantren yang kemampuannya segitu-gitu juga, bahkan ada yang cenderung menurun. Penyebabnya, udah jadi ustadz. So nggak pantas lagi untuk belajar, apalagi berguru.
Syukur alhamdulillah masih ada saja saya temui ustadz-ustadz yang layak menjadi ustadz. Alhamdulillah juga masih ada Ulama yang tetap konsen mendakwahkan agama, bukan kebesaran dirinya. Walau tetap aja sayang banget, coz jumlahnya bagai buah kelapa yang jatuh di pantai dibanding jumlah butiran pasirnya. Allahumma unshur man nashorod diin.

(El-Fath Satria)

Rabu, 26 Maret 2014

PELANGGARAN SYARIAT PARAH DI ERA POLITIK

PELANGGARAN SYARIAT PARAH DI ERA POLITIK

Roda perpolitikan makin bergulir kencang. Rayuan gombal makin susah dibedakan sama janji tulus. Makin banyak orang yang ahli membuat topeng, tanpa harus pesan ke ahli pembuat topeng. Hanya para pemimpin yang sepertinya layak dihujat. Sementara kita orang-orang kecil, bersih tanpa dosa. Bahkan seakan menjelma jadi sosok terdzolimi yang nggak pernah mendzolimi orang lain. Tapi benarkah kita emang sebersih itu?
1. Produksi Jago Fitnah.
“Preeet….dia tuh cuma tukang ngibul” atau “Dari wajahnya aja udah kelihatan klo dia suka korupsi” atau “Golput aja deh. Percuma. Calonnya nggak ada yang bener”. Banyak banget di antara kita yang tiba-tiba aja jadi jahat banget menuduh orang lain, padahal kita nyatanya seringkali belum punya bukti. Beberapa bahkan jadi paranormal handal yang bisa membaca karakter dan amaliyah seseorang hanya dengan melihat foto yang terpampang di banner promo partai politik. Kita jadi lupa bahwa berkata atau berpendapat tanpa dasar = FITNAH, dan fitnah jelas diharamkan oleh agama apapun.
2. Sama Tapi Nggak Merasa.
Ketika pemimpin terbukti melakukan suap, demonstran pun bermunculan di mana-mana. Tapi nyatanya belum pernah ada demonstran yang muncul ketika ada oknum-oknum masyarakat yang mengatakan “Nggak ngasih apa-apa kok nyuruh orang nyoblos”. Nah lho, sama aja kan. Hm…saya kok jadi ingat sama si Fulan yang suka nggosipin polisi yang mau disuap. Tapi ketika dia ditilang gara-gara nggak pakai helm, eh dia malah tanpa malu jadi pelaku suap.
3. Pengen Dipimpin Sama Malaikat.
Nggak ada manusia yang sempurna. Semua orang jelas hapal dan setuju sama kalimat itu. Tapi kenapa kebanyakan dari kita malah lebih ribut ngomongin kelemahan para pemimpin dibanding ngomongin keberhasilan mereka? Padahal kita paham banget kalau makhluk yang nggak mungkin salah itu cuma malaikat.
4. Metode Abrakadabra Feeling.
Tadi nyoblos caleg nomer berapa? Nomer 2. Kenapa nomer 2? Mm…feeling aja, coz dia yang wajahnya kelihatan paling meyakinkan. Wow! Itulah kenapa jurusan psikologi nggak terlalu populer di kalangan pelajar Indonesia. Nggak usah pakai kuliah, kita udah jago membaca karakter orang cuma dari nglihat fotonya kok.
Info tentang profil partai dan caleg udah disajikan lengkap di internet sama KPU. Sekali-sekali di-klik dong. Emang profil itu belum tentu 100 % valid kayak yang sebenarnya. Tapi paling nggak itu jauh lebih baik daripada berpendapat tanpa dasar.
Menjatuhkan nama baik sesama muslim tanpa dasar, oleh baginda Nabi jelas dinyatakan “Nggak bakal diterima amal ibadahnya, hingga si tukang gosip minta maaf dan mengklarifikasi gosip murahannya”. Metode dan praktek meramal akan membuat ibadah kita ditolak selama 40 hari. Meng-intropeksi orang lain hanya boleh kita lakukan setelah kita meng-intropeksi diri kita sendiri dulu (haasibuu anfusakum qobla an tuhaasabuu).
Friends…..Sabda Baginda Nabi : al muslimu man salimal muslimuun min lisaanihi wa yadihi (Orang muslim adalah orang yang muslim-muslim yang lain selamat/aman dari ucapan dan kekuasaannya/kekuatannya). So kalau kita tiba-tiba jadi sosok yang justru hoby menghancurkan nama baik muslim yang lain, masih layakkah kita mengakui diri kita sebagai seorang muslim???

(El-Fath Satria)

Jumat, 14 Maret 2014

BILINGUAL BERAKHLAQ = LEBIH CERDAS

BILINGUAL BERAKHLAQ = LEBIH CERDAS
Berbagai suku di Indonesia bikin bangsa ini juga sekaligus kaya bahasa daerah. Beberapa memiliki kemiripan, beberapa beda banget satu sama lain. Tapi secara garis besar, seluruh bahasa daerah memiliki kesamaan mutlak : terdiri dari 3 tingakatan. Tingkat 1, bahasa kasar (digunakan untuk berkomunikasi dengan yang selevel atau dibawahnya). Tingkat 2, bahasa agak halus (untuk berkomunikasi dengan yang setara atau sedikit diatasnya). Tingkat 3, bahasa halus banget (untuk berkomunikasi dengan orang yang levelnya di atas kita).
Saya masih ingat benar cubitan “serius” almarhumah nenek gara-gara saya ngomong sama beliau pakai bahasa tingkat 1. Nenek saya nggak melanggar HAM kok. Sebab semua teman saya di jaman itu juga mengalami hukuman yang sama kalau sampai salah menggunakan tingkatan bahasa. Tapi saat ini saya kok susah banget menemui kejadian cubitan melayang gara-gara ngomong pakai tingkatan bahasa yang salah.
Awakmu wis mangan ta?” (Kamu udah makan?), tanya seorang ibu. Sambil menyeka ingusnya, sang anak pun menjawab “Engkok ae. Aku tak dulinan disek” (Nanti aja. Aku mainan dulu). Anehnya sang ibu merasa itu biasa-biasa aja. Padahal itu bahasa Jawa Timur paling kasar lho.
Ini jaman moderen, Bang. Nggak usah sok ribet sama aturan kuno kayak gitu dong. Hm…..padahal fakta psikologi jelas menyatakan kalau orang yang biasa berbicara dengan 2 bahasa (bilingual) secara baik dan benar lebih mungkin cerdas dibanding yang enggak. Ngomongnya sih tetap pakai 2 bahasa, tapi dua-duanya berantakan. Bahasa daerahnya hanya bisa pakai yang kasar. Sementara bahasa Indonesianya juga nggak kalah hancur. Murid dan guru berkomunikasi dengan kata “aku”, bukan “saya”. Belum lagi kenyataan bahwa orang sekarang jarang yang bisa ngebedain fungsi kata “kami” dan “kita” (mohon tanya sama guru bahasa Indonesia masing-masing).
Semua guru dan orang tua di Indonesia jelas paham kalau kualitas kecerdasan anak sekarang nyaris meragukan. Tapi kenapa masalah penguasaan bilingual yang dulu nyata efektif bikin orang jadi cerdas kok malah kita kesampingkan. Padahal konsep pendidikan manapun jelas menyatakan kalau komunikasi yang beradab adalah syarat utama bisa diterimanya ilmu dengan mudah. Paling nggak saya dengan penuh rasa syukur bisa bikin pernyataan kalau anak saya yang masih siswa TK nol kecil (Muhammad Alf-Redho Bimalana) bisa berbahasa Jawa halus dan berbahasa Indonesia dengan baik. Hasilnya? Anak saya alhamdulillah jadi murid unggulan yang bahkan diusulkan sama guru-gurunya untuk dipindah aja ke kelas 2 SD. Si kecil Redho lancar baca dan udah menguasai hitungan matematika pecahan. Selain jadi murid ngaji terbaik di TPQ-nya, Redho kecil juga lancar berdeskripsi yang umumnya masih susah dikuasai anak usia 12 tahun.  Berita baiknya, “keajaiban” itu juga terjadi pada semua murid les privat saya. Semuanya berawal dari sebuah hal sederhana : mempraktekkan 2 bahasa dengan baik dan benar.
Buat semua saudara saya yang Jawa, Sunda, Madura, Ambon, hingga Papua ------bangsa kita memiliki keunggulan bilingual otomatis yang luar biasa manfaatnya. So mengapa justru kita sia-siakan demi modernisasi buta yang bikin tambah nggak pintar. Bangsa ini juga memiliki aturan etika yang luar biasa. So mengapa harus sok globalisasi yang nyatanya malah bikin kita keblinger.
Coba dan praktekkan modal bilingual khas Indonesia ini. Kalau ternyata hasilnya nggak bikin Anda atau anak Anda jadi tambah pintar, saya SIAP menerima hujan kritik terpedas yang pernah ada. Semoga bermanfaat.

(El Fath Satria)

Senin, 10 Maret 2014

MAYORITAS ORANG INDONESIA TERLIBAT RIBA

MAYORITAS  ORANG  INDONESIA  TERLIBAT  RIBA
Nggak usah panas dulu setelah baca judul di atas. Sebab saya justru mau mengklaim bahwa bisa jadi 90% penduduk Indonesia terlibat riba. Iya, maksud saya riba yang haram itu. Kok bisa?
Gini, Friends. Pernah menghitung nggak berapa jumlah penduduk Indonesia yang pernah atau masih menjalani pembelian barang dengan sistem kredit? Faktanya, bahkan kalangan berduit pun banyak juga yang lebih suka membeli barang dengan cara mengangsur alias kredit yang jelas banget harganya melonjak tajam dibanding membeli secara cash / tunai. Berita buruknya, penetapan harga barang yang berlipat ganda dari harga aslinya itu dalam Islam dikategorikan riba, dan hukumnya jelas haram.
Beli sepeda motor tunai 12 juta rupiah. Tapi kalau beli dengan cara kredit, harganya bisa membengkak jadi 16 juta bahkan lebih. Mau bilang itu bukan riba? Lho, itu kan efek dari sistem yang mau nggak mau harus kita jalani? Jangan merasa benar dulu. Kondisi “mau nggak mau” seperti itu nggak bisa masuk kategori darurat lho (untuk yang mau protes, silahkan dicek dulu perbedaan definisi dlorurot dan udzur). Satu hal yang harus dipertanyakan dalam praktek kredit yang “menyiksa” itu, ridlo-kah hati kita di saat menjalaninya?

Tetet tereeeeet………waktunya kabar gembira!!! Konsep fiqih menyatakan kalau hukum keharaman riba bisa gugur ketika ada ‘an taroodlin di antara kedua belah pihak yang bertransaksi. Kedua belah pihak sama-sama RIDLO alias nggak pakai ngedumel dengan isi perjanjian transaksi. Berapapun jumlah bunga kreditnya; asalkan saling ridlo; nggak masalah. Dengan kata lain keharaman hukum riba-nya jadi gugur.
Praktek pelonjakan harga dari proses pembelian secara kredit atau pinjaman berjangka kayaknya emang nggak bisa dihindari sebagai akibat dari produk era moderen yang bernama efisiensi. Nunggu punya uang 12 juta buat beli sepeda motor, kayaknya kelamaan. So kredit aja deh. Tapi…….hatinya mesti ditata dulu biar bisa ikhlas / ridlo sama tumpukan bunga yang bakal kita terima. Intinya gimana caranya kita tetap dapetin tuh sepeda motor, tapi dengan cara yang HALAL.
Sekarang tinggal pilih. Mau ngedapetin sepeda motor secara kredit tapi haram (karena termasuk riba), atau dapat sepeda motor kredit tapi halal. Caranya gampang kok. Cuma tinggal ridlo. Kalau penjualnya sih udah pasti ridlo. Yang beli tuh, ridlo apa enggak? Mm…mending ridlo aja deh, biar sepeda motornya halal.
Oke, Friends. Bunga kredit / bank emang nggak seindah bunga mawar. Tapi kalau kita punya modal yang namanya RIDLO, tetap aja jadi indah kok. Semoga bermanfaat.

(Pecinta Bunga)

Kamis, 06 Maret 2014

SAAT TUHAN MENGHILANG

SAAT TUHAN MENGHILANG
“Kenapa doa saya nggak kunjung dikabulkan? Jangan salahin saya dong kalau saya lantas malas beribadah”. Setidaknya seperti itu kalimat yang sering kita dengar. Tuhan dihujat dan ditinggalkan karena dianggap ingkar janji. Padahal Tuhan kan udah janji bakal menjawab semua doa???
Kalimat itu pula yang terucap dari sekian banyak tamu di rumah saya yang mungil. Iya juga sih. Tuhan Maha Kaya, tapi kok pelit. Tinggal kun fayakun aja kok pakai pertimbangan panjang. Jadi wajar dong kalau kita kemudian boleh ngelupain Tuhan dan nggak hoby bersyukur. Kan Tuhan yang bikin masalah duluan. Lupakan aku dan aku pun akan melupakan-Mu.
Friends, masih ingat nggak saat kita dulu belum punya HP (telpon selular). Saat itu kita berharap sampai ngiler biar Tuhan segera ngasih kita HP. Harapan yang plus ngiler adalah doa. Beberapa bulan kemudian setelah kita menabung sepenuh hati, akhirnya HP idaman itu bisa kita miliki. Pertanyaannya, “Ketika HP itu akhirnya bisa kita miliki, kita merasa itu adalah hasil dari kerja keras kita atau itu semata-mata jawaban Tuhan dari doa kita?”
Kita dulu nggak punya sepeda motor. Kita pun lantas berdoa. Kita dulu nggak punya rumah. Dengan khusyu’ kita pun berdoa. Di antara kita ada juga yang berdoa sambil menangis karena nggak kunjung punya momongan. Bahkan………kita sering juga berdoa hanya karena pengen punya kulit semulus artis (minimal mirip si bunga desa).
Kita lantas nggak cuma berdoa. Kita juga berusaha keras mendapatkan apa yang kita harapkan. Berbagai upaya kita lakukan. Nggak cuma sehari dua hari, bahkan terkadang bertahun-tahun. Tapi sekali lagi tolong jawab pertanyaan sederhana ini, “Ketika impian-impian itu akhirnya bisa kita miliki, kita merasa itu adalah hasil dari kerja keras kita atau itu semata-mata jawaban Tuhan dari doa kita?”
Faktanya, banyak banget kok sebenarnya doa kita yang udah dijawab sama Tuhan. Bahkan kita pasti kesulitan untuk menghitungnya. Tapi faktanya juga, kita seringkali lupa sama keterlibatan Tuhan di saat impian kita itu terwujud. Kita lebih merasa kalau impian itu terwujud gara-gara kerja keras kita. Seringkali kita lupa dengan Maha Programmer yang menggerakkan kita. Hasil akhirnya : kita pun jadinya lupa kalau itu adalah jawaban dari doa yang kita panjatkan dulu (beberapa bahkan duluuuuuuu banget).
Tuhan selalu dan pasti menjawab semua doa. Tuhan nggak pernah ingkar janji. Tapi Tuhan punya cara sendiri yang terkadang “agak susah” kita pahami untuk menepati janjinya. Tuhan memang Maha Kuasa mewujudkan apapun. Tapi Tuhan juga Maha Bijaksana. So Tuhan akan menjalankan kuasa-Nya hanya dengan cara yang bijaksana.
Sekarang………coba kita bareng-bareng mengingat apapun yang akhirnya hari ini telah kita miliki padahal dulu kayak sekedar mimpi. Lalu tanya pada hati kita masing-masing, “Masih 100% kah keberadaan Tuhan dalam kebahagiaan saya ketika sebuah mimpi / harapan akhirnya bisa saya dapatkan?”

(El-Fath Satria)