TREND MA’SIYAT VS BANJIR USTADZ
Dakwah Islam makin berkembang. Media
dakwah juga makin beragam; mulai dari pengajian langsung, jamaah istighosah, TV, majalah, bahkan dibarengin
sama konser musik; yang jelas…beragam. Jam
5 pagi, TV kita udah dipenuhi acara dakwah, terus aja ada sampai malam. Wow!
Alhamdulillah dakwah Islam udah bukan perkara yang susah lagi buat
dikembangkan. Jumlah ustadz yang bermunculan pun mulai susah dihitung. Tapi…….kenapa
orang yang ma’siyat kok juga ikutan jadi tambah banyak ya? Harusnya kan kalau
ustadznya banyak, kema’siyatannya harus jadi berkurang. Berikut ini beberapa
kemungkinan penyebabnya :
1. Jago Bicara Tanpa Ilmu.
Tutur kata yang indah udah jadi kewajiban yang harus
dimiliki oleh para ustadz masa kini. Seringkali bahkan berbicara ala birama
sajak. Tapi ketika sang ustadz mulai membaca dalil…….astaghfirullohal ‘Adzim, ternyata bacaan alQur’an sang ustadz jauh
dari kata fasih, harokat haditsnya
banyak yang nyelonong, bahasa Arab pun nggak paham. Setidaknya ini adalah
realita dari salah satu tanda kiamat yang pernah diungkapkan oleh baginda Nabi
dengan qoliilul ulama’ (jumlah ulama
makin sedikit), tapi katsiirul khuthobaa’
(jago bicara makin banyak).
2. Ustadznya Nggak Gaul.
Lho…ustadz sekarang kan pada berpenampilan gaul???
Bukan gitu yang diajarin sama Nabi Muhammad. Berpenampilan gaul itu boleh kok. Tapi
yang wajib sebenarnya adalah seorang ustadz harus mau bergaul sama umatnya. Ustadz
nggak boleh memposisikan diri bagai perhiasan mahal dalam kotak kaca. Jangankan
disentuh, didekati aja susahnya minta ampun. Cara memandang diri sendiri
terlalu tinggi pada akhirnya justru bikin ada batasan yang terlalu tebal antara
ustadz dengan umatnya.
3. Salah Kaprah Ballighu ‘Anny Walau Ayat.
Sampaikanlah walau satu ayat. So kita semua wajib jadi
juru dakwah, walau ilmu kita baru secuil. Hm….Silahkan dicek di buku-buku
hadits. Hadits tersebut sebenarnya disabdakan oleh baginda Nabi sebagai
perintah menyebarkan hadits. Artinya kalau ada sahabat yang kebetulan mendengar
sebuah hadits dari beliau, sahabat itu beliau suruh buat nyampaikan ke sahabat
yang lain. Sampaikan persis, tanpa mengurangi, apalagi menambah. Jadi juru
dakwah itu ada syarat-syaratnya lho. Bukannya sekedar bisa bicara, terus jadi
merasa layak.
4. Pakai Lisan, Bukan Uswah.
Dalam surat al Ahzaab 21 ditegaskan bahwa Nabi
Muhammad adalah uswatun hasanah (suri
tauladan yang baik). Allah tidak semata-mata menciptakan baginda Nabi sebagai presentator.
Tapi Allah justru menjadikan beliau sebagai contoh. Materi utama dakwah Nabi
adalah diri beliau sendiri. Sahabat menjadi baik, karena beliau juga baik. Sahabat
menjadi dermawan, karena beliau dermawan. Yang pasti beliau mengungkapkan
ajaran Islam lebih lewat suri tauladan tindakan, bukan sekedar bicara lalu
tindakannya mengingkari ucapan beliau sendiri. Sebagai makhluk paling mulia,
baginda Nabi tanpa segan ikut menggali parit bersama sahabat dalam perang
Khondaq. Jadi aneh banget kalau ada ustadz muda yang lantas merasa nggak pantas
ikut tergabung aktif alias terkena darah dalam panitia penyembelihan di momen
Idul Adha. Yang paling mengenaskan, jelas bukan sesuatu yang membanggakan jika
lantas ada ustadz yang justru diminati lantaran gaya genitnya. Uswah-kah?
5. Mencari Hidup Dengan Agama.
Saya mendukung pendapat yang menyatakan bahwa menerima
“imbalan” untuk dakwah yang disampaikan itu BOLEH. Tapi jangan lantas hanya
berdakwah ketika ada amplop dong. Perhatikan gaya hidup para Ulama yang
original. Ulama original memang ada yang berdakwah dengan fasilitas antar
jemput plus amplop tunai. Tapi Ulama original nyatanya juga punya kegiatan
pengajian “gratis”, baik dirumahnya sendiri atau di kawasan tertentu. So menerima
amplop tunai itu hak. Tapi berdakwah tanpa memperhitungkan amplop itu adalah
mutlak sebuah kewajiban.
6. Berhenti Belajar.
“Saya ini ustadz. Tugas saya mengajar, bukan belajar”.
Setidaknya itulah yang sering tersirat dari beberapa ustadz kita. Padahal sang
ustadz tanpa ragu sering mengatakan tentang wajibnya mencari ilmu hingga mati.
Semoga aja nggak ada pembaca yang menemui kenyataan seperti yang saya saksikan.
Sering banget saya menemui beberapa teman alumni pesantren yang kemampuannya
segitu-gitu juga, bahkan ada yang cenderung menurun. Penyebabnya, udah jadi
ustadz. So nggak pantas lagi untuk belajar, apalagi berguru.
Syukur alhamdulillah masih ada saja saya temui
ustadz-ustadz yang layak menjadi ustadz. Alhamdulillah juga masih ada Ulama
yang tetap konsen mendakwahkan agama, bukan kebesaran dirinya. Walau tetap aja
sayang banget, coz jumlahnya bagai buah kelapa yang jatuh di pantai dibanding
jumlah butiran pasirnya. Allahumma unshur
man nashorod diin.
(El-Fath
Satria)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar