Senin, 07 April 2014

TREND MA'SIYAT VERSUS BANJIR USTADZ

TREND MA’SIYAT VS BANJIR USTADZ
Dakwah Islam makin berkembang. Media dakwah juga makin beragam; mulai dari pengajian langsung, jamaah istighosah, TV, majalah, bahkan dibarengin sama konser musik; yang jelas…beragam. Jam 5 pagi, TV kita udah dipenuhi acara dakwah, terus aja ada sampai malam. Wow! Alhamdulillah dakwah Islam udah bukan perkara yang susah lagi buat dikembangkan. Jumlah ustadz yang bermunculan pun mulai susah dihitung. Tapi…….kenapa orang yang ma’siyat kok juga ikutan jadi tambah banyak ya? Harusnya kan kalau ustadznya banyak, kema’siyatannya harus jadi berkurang. Berikut ini beberapa kemungkinan penyebabnya :
1. Jago Bicara Tanpa Ilmu.
Tutur kata yang indah udah jadi kewajiban yang harus dimiliki oleh para ustadz masa kini. Seringkali bahkan berbicara ala birama sajak. Tapi ketika sang ustadz mulai membaca dalil…….astaghfirullohal ‘Adzim, ternyata bacaan alQur’an sang ustadz jauh dari kata fasih, harokat haditsnya banyak yang nyelonong, bahasa Arab pun nggak paham. Setidaknya ini adalah realita dari salah satu tanda kiamat yang pernah diungkapkan oleh baginda Nabi dengan qoliilul ulama’ (jumlah ulama makin sedikit), tapi katsiirul khuthobaa’ (jago bicara makin banyak).

2. Ustadznya Nggak Gaul.
Lho…ustadz sekarang kan pada berpenampilan gaul??? Bukan gitu yang diajarin sama Nabi Muhammad. Berpenampilan gaul itu boleh kok. Tapi yang wajib sebenarnya adalah seorang ustadz harus mau bergaul sama umatnya. Ustadz nggak boleh memposisikan diri bagai perhiasan mahal dalam kotak kaca. Jangankan disentuh, didekati aja susahnya minta ampun. Cara memandang diri sendiri terlalu tinggi pada akhirnya justru bikin ada batasan yang terlalu tebal antara ustadz dengan umatnya.
3. Salah Kaprah Ballighu ‘Anny Walau Ayat.
Sampaikanlah walau satu ayat. So kita semua wajib jadi juru dakwah, walau ilmu kita baru secuil. Hm….Silahkan dicek di buku-buku hadits. Hadits tersebut sebenarnya disabdakan oleh baginda Nabi sebagai perintah menyebarkan hadits. Artinya kalau ada sahabat yang kebetulan mendengar sebuah hadits dari beliau, sahabat itu beliau suruh buat nyampaikan ke sahabat yang lain. Sampaikan persis, tanpa mengurangi, apalagi menambah. Jadi juru dakwah itu ada syarat-syaratnya lho. Bukannya sekedar bisa bicara, terus jadi merasa layak.
4. Pakai Lisan, Bukan Uswah.
Dalam surat al Ahzaab 21 ditegaskan bahwa Nabi Muhammad adalah uswatun hasanah (suri tauladan yang baik). Allah tidak semata-mata menciptakan baginda Nabi sebagai presentator. Tapi Allah justru menjadikan beliau sebagai contoh. Materi utama dakwah Nabi adalah diri beliau sendiri. Sahabat menjadi baik, karena beliau juga baik. Sahabat menjadi dermawan, karena beliau dermawan. Yang pasti beliau mengungkapkan ajaran Islam lebih lewat suri tauladan tindakan, bukan sekedar bicara lalu tindakannya mengingkari ucapan beliau sendiri. Sebagai makhluk paling mulia, baginda Nabi tanpa segan ikut menggali parit bersama sahabat dalam perang Khondaq. Jadi aneh banget kalau ada ustadz muda yang lantas merasa nggak pantas ikut tergabung aktif alias terkena darah dalam panitia penyembelihan di momen Idul Adha. Yang paling mengenaskan, jelas bukan sesuatu yang membanggakan jika lantas ada ustadz yang justru diminati lantaran gaya genitnya. Uswah-kah?
5. Mencari Hidup Dengan Agama.
Saya mendukung pendapat yang menyatakan bahwa menerima “imbalan” untuk dakwah yang disampaikan itu BOLEH. Tapi jangan lantas hanya berdakwah ketika ada amplop dong. Perhatikan gaya hidup para Ulama yang original. Ulama original memang ada yang berdakwah dengan fasilitas antar jemput plus amplop tunai. Tapi Ulama original nyatanya juga punya kegiatan pengajian “gratis”, baik dirumahnya sendiri atau di kawasan tertentu. So menerima amplop tunai itu hak. Tapi berdakwah tanpa memperhitungkan amplop itu adalah mutlak sebuah kewajiban.
6. Berhenti Belajar.
“Saya ini ustadz. Tugas saya mengajar, bukan belajar”. Setidaknya itulah yang sering tersirat dari beberapa ustadz kita. Padahal sang ustadz tanpa ragu sering mengatakan tentang wajibnya mencari ilmu hingga mati. Semoga aja nggak ada pembaca yang menemui kenyataan seperti yang saya saksikan. Sering banget saya menemui beberapa teman alumni pesantren yang kemampuannya segitu-gitu juga, bahkan ada yang cenderung menurun. Penyebabnya, udah jadi ustadz. So nggak pantas lagi untuk belajar, apalagi berguru.
Syukur alhamdulillah masih ada saja saya temui ustadz-ustadz yang layak menjadi ustadz. Alhamdulillah juga masih ada Ulama yang tetap konsen mendakwahkan agama, bukan kebesaran dirinya. Walau tetap aja sayang banget, coz jumlahnya bagai buah kelapa yang jatuh di pantai dibanding jumlah butiran pasirnya. Allahumma unshur man nashorod diin.

(El-Fath Satria)

Tidak ada komentar: