Jumat, 14 Maret 2014

BILINGUAL BERAKHLAQ = LEBIH CERDAS

BILINGUAL BERAKHLAQ = LEBIH CERDAS
Berbagai suku di Indonesia bikin bangsa ini juga sekaligus kaya bahasa daerah. Beberapa memiliki kemiripan, beberapa beda banget satu sama lain. Tapi secara garis besar, seluruh bahasa daerah memiliki kesamaan mutlak : terdiri dari 3 tingakatan. Tingkat 1, bahasa kasar (digunakan untuk berkomunikasi dengan yang selevel atau dibawahnya). Tingkat 2, bahasa agak halus (untuk berkomunikasi dengan yang setara atau sedikit diatasnya). Tingkat 3, bahasa halus banget (untuk berkomunikasi dengan orang yang levelnya di atas kita).
Saya masih ingat benar cubitan “serius” almarhumah nenek gara-gara saya ngomong sama beliau pakai bahasa tingkat 1. Nenek saya nggak melanggar HAM kok. Sebab semua teman saya di jaman itu juga mengalami hukuman yang sama kalau sampai salah menggunakan tingkatan bahasa. Tapi saat ini saya kok susah banget menemui kejadian cubitan melayang gara-gara ngomong pakai tingkatan bahasa yang salah.
Awakmu wis mangan ta?” (Kamu udah makan?), tanya seorang ibu. Sambil menyeka ingusnya, sang anak pun menjawab “Engkok ae. Aku tak dulinan disek” (Nanti aja. Aku mainan dulu). Anehnya sang ibu merasa itu biasa-biasa aja. Padahal itu bahasa Jawa Timur paling kasar lho.
Ini jaman moderen, Bang. Nggak usah sok ribet sama aturan kuno kayak gitu dong. Hm…..padahal fakta psikologi jelas menyatakan kalau orang yang biasa berbicara dengan 2 bahasa (bilingual) secara baik dan benar lebih mungkin cerdas dibanding yang enggak. Ngomongnya sih tetap pakai 2 bahasa, tapi dua-duanya berantakan. Bahasa daerahnya hanya bisa pakai yang kasar. Sementara bahasa Indonesianya juga nggak kalah hancur. Murid dan guru berkomunikasi dengan kata “aku”, bukan “saya”. Belum lagi kenyataan bahwa orang sekarang jarang yang bisa ngebedain fungsi kata “kami” dan “kita” (mohon tanya sama guru bahasa Indonesia masing-masing).
Semua guru dan orang tua di Indonesia jelas paham kalau kualitas kecerdasan anak sekarang nyaris meragukan. Tapi kenapa masalah penguasaan bilingual yang dulu nyata efektif bikin orang jadi cerdas kok malah kita kesampingkan. Padahal konsep pendidikan manapun jelas menyatakan kalau komunikasi yang beradab adalah syarat utama bisa diterimanya ilmu dengan mudah. Paling nggak saya dengan penuh rasa syukur bisa bikin pernyataan kalau anak saya yang masih siswa TK nol kecil (Muhammad Alf-Redho Bimalana) bisa berbahasa Jawa halus dan berbahasa Indonesia dengan baik. Hasilnya? Anak saya alhamdulillah jadi murid unggulan yang bahkan diusulkan sama guru-gurunya untuk dipindah aja ke kelas 2 SD. Si kecil Redho lancar baca dan udah menguasai hitungan matematika pecahan. Selain jadi murid ngaji terbaik di TPQ-nya, Redho kecil juga lancar berdeskripsi yang umumnya masih susah dikuasai anak usia 12 tahun.  Berita baiknya, “keajaiban” itu juga terjadi pada semua murid les privat saya. Semuanya berawal dari sebuah hal sederhana : mempraktekkan 2 bahasa dengan baik dan benar.
Buat semua saudara saya yang Jawa, Sunda, Madura, Ambon, hingga Papua ------bangsa kita memiliki keunggulan bilingual otomatis yang luar biasa manfaatnya. So mengapa justru kita sia-siakan demi modernisasi buta yang bikin tambah nggak pintar. Bangsa ini juga memiliki aturan etika yang luar biasa. So mengapa harus sok globalisasi yang nyatanya malah bikin kita keblinger.
Coba dan praktekkan modal bilingual khas Indonesia ini. Kalau ternyata hasilnya nggak bikin Anda atau anak Anda jadi tambah pintar, saya SIAP menerima hujan kritik terpedas yang pernah ada. Semoga bermanfaat.

(El Fath Satria)

Tidak ada komentar: