BILINGUAL BERAKHLAQ = LEBIH CERDAS
Berbagai suku di Indonesia bikin bangsa ini juga
sekaligus kaya bahasa daerah. Beberapa memiliki kemiripan, beberapa beda banget
satu sama lain. Tapi secara garis besar, seluruh bahasa daerah memiliki
kesamaan mutlak : terdiri dari 3 tingakatan. Tingkat 1, bahasa kasar (digunakan
untuk berkomunikasi dengan yang selevel atau dibawahnya). Tingkat 2, bahasa
agak halus (untuk berkomunikasi dengan yang setara atau sedikit diatasnya).
Tingkat 3, bahasa halus banget (untuk berkomunikasi dengan orang yang levelnya di
atas kita).
Saya masih ingat benar cubitan “serius” almarhumah
nenek gara-gara saya ngomong sama beliau pakai bahasa tingkat 1. Nenek saya
nggak melanggar HAM kok. Sebab semua teman saya di jaman itu juga mengalami
hukuman yang sama kalau sampai salah menggunakan tingkatan bahasa. Tapi saat
ini saya kok susah banget menemui kejadian cubitan melayang gara-gara ngomong
pakai tingkatan bahasa yang salah.
“Awakmu wis
mangan ta?” (Kamu udah makan?), tanya seorang ibu. Sambil menyeka ingusnya,
sang anak pun menjawab “Engkok ae. Aku
tak dulinan disek” (Nanti aja. Aku mainan dulu). Anehnya sang ibu merasa
itu biasa-biasa aja. Padahal itu bahasa Jawa Timur paling kasar lho.
Ini jaman moderen, Bang. Nggak usah sok ribet sama
aturan kuno kayak gitu dong. Hm…..padahal fakta psikologi jelas menyatakan
kalau orang yang biasa berbicara dengan 2 bahasa (bilingual) secara baik dan
benar lebih mungkin cerdas dibanding yang enggak. Ngomongnya sih tetap pakai 2
bahasa, tapi dua-duanya berantakan. Bahasa daerahnya hanya bisa pakai yang
kasar. Sementara bahasa Indonesianya juga nggak kalah hancur. Murid dan guru
berkomunikasi dengan kata “aku”, bukan “saya”. Belum lagi kenyataan bahwa orang
sekarang jarang yang bisa ngebedain fungsi kata “kami” dan “kita” (mohon tanya
sama guru bahasa Indonesia masing-masing).
Semua guru dan orang tua di Indonesia jelas paham
kalau kualitas kecerdasan anak sekarang nyaris meragukan. Tapi kenapa masalah
penguasaan bilingual yang dulu nyata efektif bikin orang jadi cerdas kok malah
kita kesampingkan. Padahal konsep pendidikan manapun jelas menyatakan kalau
komunikasi yang beradab adalah syarat utama bisa diterimanya ilmu dengan mudah.
Paling nggak saya dengan penuh rasa syukur bisa bikin pernyataan kalau anak
saya yang masih siswa TK nol kecil (Muhammad Alf-Redho Bimalana) bisa berbahasa
Jawa halus dan berbahasa Indonesia dengan baik. Hasilnya? Anak saya
alhamdulillah jadi murid unggulan yang bahkan diusulkan sama guru-gurunya untuk
dipindah aja ke kelas 2 SD. Si kecil Redho lancar baca dan udah menguasai hitungan
matematika pecahan. Selain jadi murid ngaji terbaik di TPQ-nya, Redho kecil
juga lancar berdeskripsi yang umumnya masih susah dikuasai anak usia 12 tahun. Berita baiknya, “keajaiban” itu juga terjadi
pada semua murid les privat saya. Semuanya berawal dari sebuah hal sederhana : mempraktekkan
2 bahasa dengan baik dan benar.
Buat semua saudara saya yang Jawa, Sunda, Madura,
Ambon, hingga Papua ------bangsa kita memiliki keunggulan bilingual otomatis
yang luar biasa manfaatnya. So mengapa justru kita sia-siakan demi modernisasi
buta yang bikin tambah nggak pintar. Bangsa ini juga memiliki aturan etika yang
luar biasa. So mengapa harus sok globalisasi yang nyatanya malah bikin kita keblinger.
Coba dan praktekkan modal bilingual khas Indonesia
ini. Kalau ternyata hasilnya nggak bikin Anda atau anak Anda jadi tambah
pintar, saya SIAP menerima hujan kritik terpedas yang pernah ada. Semoga
bermanfaat.
(El Fath
Satria)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar