Selasa, 29 April 2014

SANTRI KEHILANGAN PENERANGAN

SANTRI KEHILANGAN PENERANGAN
“Hhh….alumni pesantren kok malah jadi pimpinan aliran sesat. Lama-lama gatal juga telinga kalau dengar kalimat itu. Mau ngebantah….faktanya yang kayak gitu emang lumayan banyak. Alumni pesantren tapi keblinger. Mending kalau cuma nakal tindakan. Ini nakalnya urusan aqidah. Padahal nyantrinya lumayan lama lho. Berikut ini hasil survey saya sehubungan sama beberapa penyebab kenapa santri yang udah lama banget di pesantren masih juga terpeleset ke aliran yang nggak benar.

1. Tawadlu’ Lebay Pada Kyai.
Saya masih ingat betul gimana marahnya para ustadz gara-gara saya berbeda pendapat sama Pak Kyai (almarhum). Katanya saya tuh nggak tawadlu’. Padahal saat itu Pak Kyai tenang-tenang aja. So what gitu loh. Berbeda pendapat sama guru itu sah-sah aja selama kita nyampaikannya dengan etika yang benar. Jangan pernah lupa kalau guru kita itu cuma manusia yang masih mungkin salah. Jangan pernah lupa juga kalau Imam Syafi’i adalah murid Imam Maliki dan Imam Hanafi. Tapi nyatanya madzhab beliau berbeda dengan kedua gurunya. Faktanya, Imam Syafi’i nggak kualat.
Pesantren adalah tempat mencetak agamawan yang mandiri dalam mencetuskan pemahaman atas sebuah hukum, bukan mencetak agamawan yang apa kata Pak Kyai. Kyai kita bukan makhluk abadi yang bisa selalu mendampingi kita. Beliau pada saatnya akan berhadapan dengan kata wafat. So penting banget bagi santri untuk nggak bergantung mutlak pada Kyai.
Agamawan keblinger akan bilang, “Kalau kata Pak Kyai sih hukumnya begini”. Sedang agamawan sejati akan bilang, “Kalau berdasarkan dalil ini, maka hukumnya begini”.

2. Wawasan Pengetahuan Umum Yang Minim.
Allah nggak pernah ngebedain ilmu agama dengan ilmu umum. Lewat baginda Nabi, Allah menyatakan wajibnya mencari ilmul haal atau ilmu yang dibutuhkan secara kondisional. Kalau kita butuh lulus sekolah, itu berarti wajib bagi kita untuk mengusai ilmu sekolah. Kita lagi dituntut bisa bikin rumah, berarti kita wajib belajar ilmu pertukangan. Kita mempelajari ilmu agama, berarti kita juga wajib menguasai ilmu umum yang bisa mendukung pemahaman kita menjadi lebih baik.
Seandainya kita paham ilmu geografi dengan baik, nggak bakalan ada santri yang takjub mendengar ada orang Indonesia yang nggak tidur di waktu sholat Jum’at dengan alasan dia sholat di Arab. Sebab kita jelas paham kalau waktu di Indonesia dan Arab terpaut sekitar 4 jam. Itu artinya ketika adzan Dzuhur dikumandangkan di Indonesia, maka di Arab masih sekitar jam 8 pagi. So tuh orang jama’ah Jum’at sama siapa???
Wawasan umum akan bikin kita paham bahwa rokok yang dimaksud dalam banyak kitab feqih itu beda sama rokok yang kita kenal saat ini. Kita juga jadi tahu kalau dlob (biawak) Arab yang dalam hadits jelas beda sama biawak Indonesia. Kita juga jadi tahu kalau bola udah diciptakan oleh orang Yunani jauh sebelum tragedi Karbella (So jangan sembarangan mengharamkan sepak bola). Bahkan kita juga nggak bakal sok tahu mengharamkan babi dengan alasan cacing pita, sebab fakta biologi menyatakan bahwa cacing pita di tubuh sapi jauh lebih banyak dibanding pada tubuh babi.
Singkat kata, ilmu umum membuat otak kita terbentuk tetap rasional. Otak rasional selalu menuntut sebuah bukti. Bukan sekedar dengar dan percaya tanpa bukti yang nyatanya bikin banyak santri jadi keblinger sama oknum agamawan palsu yang jago omong kosong. So kalau dengar ada guru spiritual yang bisa terbang, bilang aja “Tolong tunjukin ke saya dong. Sebentaaaaaar aja”. Jangan langsung bilang WOW tanpa bukti. Oke?

3. Minim Jam Terbang.
Terus terang saya nggak setuju sama pesantren yang terlalu “memenjarakan” santri. “Mau nyantri di sini? Lepas semua contact dengan dunia luar !! “. Padahal kan kita hanya bisa jadi matang kalau terbiasa menghadapi masalah, bukan malah lari dari masalah.
Contoh kecilnya, saya merasa sangat beruntung ketika dulu almarhum Pak Kyai memberi saya ijin untuk bergaul dengan beberapa dukun ternama di pulau Jawa. Pak Kyai mendampingi saya, bukan melepas saya. Beliau memberi bantahan rasional (lewat diskusi obyektif) atas semua hal ajaib yang saya temui pada diri para dukun. So saya jadi lebih bisa ngebedain mana yang dukun dan mana yang waliyulloh di saat dua kubu yang berbeda itu lagi sama-sama ajaib.
Singkat kata, sistem pesantren seharusnya jangan melarang santri untuk bergaul akrab dengan siapapun. Cukup berikan batasan lunak tapi tegas, bukan sebuah penjara. Setidaknya berikan pengertian gamblang bahwa peribahasa “bagai katak dalam tempurung” itu emang beneran berbahaya. Bukan sekedar bahaya ke sikap. Tapi bahkan pada akidah. Salam hormat dan dukungan penuh saya untuk pesantren yang menerapkan wajib TURBA bagi santri dengan didampingi ustadz yang mumpuni.

Semoga artikel ini bisa jadi bahan perenungan bagi siapapun yang membacanya. Paling nggak akan bikin kita ingat bahwa tugas santri adalah menyebarkan agama, bukan memelesetkannya. Patut diingat bahwa baginda Nabi nggak pernah membatasi minat belajar dan pergaulan beliau dengan siapapun. Tapi beliau tetap jadi sosok yang memberi pengaruh lho, bukan malah dipengaruhi. So semoga santri yang mulai kehilangan arah segera mendapat hidayah dari Allah. Kesalahan adalah hal biasa selama diikuti dengan pengakuan plus pertaubatan yang sesuai. Good Luck !!

(El-Fath Satria)

Tidak ada komentar: