Rabu, 26 Maret 2014

PELANGGARAN SYARIAT PARAH DI ERA POLITIK

PELANGGARAN SYARIAT PARAH DI ERA POLITIK

Roda perpolitikan makin bergulir kencang. Rayuan gombal makin susah dibedakan sama janji tulus. Makin banyak orang yang ahli membuat topeng, tanpa harus pesan ke ahli pembuat topeng. Hanya para pemimpin yang sepertinya layak dihujat. Sementara kita orang-orang kecil, bersih tanpa dosa. Bahkan seakan menjelma jadi sosok terdzolimi yang nggak pernah mendzolimi orang lain. Tapi benarkah kita emang sebersih itu?
1. Produksi Jago Fitnah.
“Preeet….dia tuh cuma tukang ngibul” atau “Dari wajahnya aja udah kelihatan klo dia suka korupsi” atau “Golput aja deh. Percuma. Calonnya nggak ada yang bener”. Banyak banget di antara kita yang tiba-tiba aja jadi jahat banget menuduh orang lain, padahal kita nyatanya seringkali belum punya bukti. Beberapa bahkan jadi paranormal handal yang bisa membaca karakter dan amaliyah seseorang hanya dengan melihat foto yang terpampang di banner promo partai politik. Kita jadi lupa bahwa berkata atau berpendapat tanpa dasar = FITNAH, dan fitnah jelas diharamkan oleh agama apapun.
2. Sama Tapi Nggak Merasa.
Ketika pemimpin terbukti melakukan suap, demonstran pun bermunculan di mana-mana. Tapi nyatanya belum pernah ada demonstran yang muncul ketika ada oknum-oknum masyarakat yang mengatakan “Nggak ngasih apa-apa kok nyuruh orang nyoblos”. Nah lho, sama aja kan. Hm…saya kok jadi ingat sama si Fulan yang suka nggosipin polisi yang mau disuap. Tapi ketika dia ditilang gara-gara nggak pakai helm, eh dia malah tanpa malu jadi pelaku suap.
3. Pengen Dipimpin Sama Malaikat.
Nggak ada manusia yang sempurna. Semua orang jelas hapal dan setuju sama kalimat itu. Tapi kenapa kebanyakan dari kita malah lebih ribut ngomongin kelemahan para pemimpin dibanding ngomongin keberhasilan mereka? Padahal kita paham banget kalau makhluk yang nggak mungkin salah itu cuma malaikat.
4. Metode Abrakadabra Feeling.
Tadi nyoblos caleg nomer berapa? Nomer 2. Kenapa nomer 2? Mm…feeling aja, coz dia yang wajahnya kelihatan paling meyakinkan. Wow! Itulah kenapa jurusan psikologi nggak terlalu populer di kalangan pelajar Indonesia. Nggak usah pakai kuliah, kita udah jago membaca karakter orang cuma dari nglihat fotonya kok.
Info tentang profil partai dan caleg udah disajikan lengkap di internet sama KPU. Sekali-sekali di-klik dong. Emang profil itu belum tentu 100 % valid kayak yang sebenarnya. Tapi paling nggak itu jauh lebih baik daripada berpendapat tanpa dasar.
Menjatuhkan nama baik sesama muslim tanpa dasar, oleh baginda Nabi jelas dinyatakan “Nggak bakal diterima amal ibadahnya, hingga si tukang gosip minta maaf dan mengklarifikasi gosip murahannya”. Metode dan praktek meramal akan membuat ibadah kita ditolak selama 40 hari. Meng-intropeksi orang lain hanya boleh kita lakukan setelah kita meng-intropeksi diri kita sendiri dulu (haasibuu anfusakum qobla an tuhaasabuu).
Friends…..Sabda Baginda Nabi : al muslimu man salimal muslimuun min lisaanihi wa yadihi (Orang muslim adalah orang yang muslim-muslim yang lain selamat/aman dari ucapan dan kekuasaannya/kekuatannya). So kalau kita tiba-tiba jadi sosok yang justru hoby menghancurkan nama baik muslim yang lain, masih layakkah kita mengakui diri kita sebagai seorang muslim???

(El-Fath Satria)

Jumat, 14 Maret 2014

BILINGUAL BERAKHLAQ = LEBIH CERDAS

BILINGUAL BERAKHLAQ = LEBIH CERDAS
Berbagai suku di Indonesia bikin bangsa ini juga sekaligus kaya bahasa daerah. Beberapa memiliki kemiripan, beberapa beda banget satu sama lain. Tapi secara garis besar, seluruh bahasa daerah memiliki kesamaan mutlak : terdiri dari 3 tingakatan. Tingkat 1, bahasa kasar (digunakan untuk berkomunikasi dengan yang selevel atau dibawahnya). Tingkat 2, bahasa agak halus (untuk berkomunikasi dengan yang setara atau sedikit diatasnya). Tingkat 3, bahasa halus banget (untuk berkomunikasi dengan orang yang levelnya di atas kita).
Saya masih ingat benar cubitan “serius” almarhumah nenek gara-gara saya ngomong sama beliau pakai bahasa tingkat 1. Nenek saya nggak melanggar HAM kok. Sebab semua teman saya di jaman itu juga mengalami hukuman yang sama kalau sampai salah menggunakan tingkatan bahasa. Tapi saat ini saya kok susah banget menemui kejadian cubitan melayang gara-gara ngomong pakai tingkatan bahasa yang salah.
Awakmu wis mangan ta?” (Kamu udah makan?), tanya seorang ibu. Sambil menyeka ingusnya, sang anak pun menjawab “Engkok ae. Aku tak dulinan disek” (Nanti aja. Aku mainan dulu). Anehnya sang ibu merasa itu biasa-biasa aja. Padahal itu bahasa Jawa Timur paling kasar lho.
Ini jaman moderen, Bang. Nggak usah sok ribet sama aturan kuno kayak gitu dong. Hm…..padahal fakta psikologi jelas menyatakan kalau orang yang biasa berbicara dengan 2 bahasa (bilingual) secara baik dan benar lebih mungkin cerdas dibanding yang enggak. Ngomongnya sih tetap pakai 2 bahasa, tapi dua-duanya berantakan. Bahasa daerahnya hanya bisa pakai yang kasar. Sementara bahasa Indonesianya juga nggak kalah hancur. Murid dan guru berkomunikasi dengan kata “aku”, bukan “saya”. Belum lagi kenyataan bahwa orang sekarang jarang yang bisa ngebedain fungsi kata “kami” dan “kita” (mohon tanya sama guru bahasa Indonesia masing-masing).
Semua guru dan orang tua di Indonesia jelas paham kalau kualitas kecerdasan anak sekarang nyaris meragukan. Tapi kenapa masalah penguasaan bilingual yang dulu nyata efektif bikin orang jadi cerdas kok malah kita kesampingkan. Padahal konsep pendidikan manapun jelas menyatakan kalau komunikasi yang beradab adalah syarat utama bisa diterimanya ilmu dengan mudah. Paling nggak saya dengan penuh rasa syukur bisa bikin pernyataan kalau anak saya yang masih siswa TK nol kecil (Muhammad Alf-Redho Bimalana) bisa berbahasa Jawa halus dan berbahasa Indonesia dengan baik. Hasilnya? Anak saya alhamdulillah jadi murid unggulan yang bahkan diusulkan sama guru-gurunya untuk dipindah aja ke kelas 2 SD. Si kecil Redho lancar baca dan udah menguasai hitungan matematika pecahan. Selain jadi murid ngaji terbaik di TPQ-nya, Redho kecil juga lancar berdeskripsi yang umumnya masih susah dikuasai anak usia 12 tahun.  Berita baiknya, “keajaiban” itu juga terjadi pada semua murid les privat saya. Semuanya berawal dari sebuah hal sederhana : mempraktekkan 2 bahasa dengan baik dan benar.
Buat semua saudara saya yang Jawa, Sunda, Madura, Ambon, hingga Papua ------bangsa kita memiliki keunggulan bilingual otomatis yang luar biasa manfaatnya. So mengapa justru kita sia-siakan demi modernisasi buta yang bikin tambah nggak pintar. Bangsa ini juga memiliki aturan etika yang luar biasa. So mengapa harus sok globalisasi yang nyatanya malah bikin kita keblinger.
Coba dan praktekkan modal bilingual khas Indonesia ini. Kalau ternyata hasilnya nggak bikin Anda atau anak Anda jadi tambah pintar, saya SIAP menerima hujan kritik terpedas yang pernah ada. Semoga bermanfaat.

(El Fath Satria)

Senin, 10 Maret 2014

MAYORITAS ORANG INDONESIA TERLIBAT RIBA

MAYORITAS  ORANG  INDONESIA  TERLIBAT  RIBA
Nggak usah panas dulu setelah baca judul di atas. Sebab saya justru mau mengklaim bahwa bisa jadi 90% penduduk Indonesia terlibat riba. Iya, maksud saya riba yang haram itu. Kok bisa?
Gini, Friends. Pernah menghitung nggak berapa jumlah penduduk Indonesia yang pernah atau masih menjalani pembelian barang dengan sistem kredit? Faktanya, bahkan kalangan berduit pun banyak juga yang lebih suka membeli barang dengan cara mengangsur alias kredit yang jelas banget harganya melonjak tajam dibanding membeli secara cash / tunai. Berita buruknya, penetapan harga barang yang berlipat ganda dari harga aslinya itu dalam Islam dikategorikan riba, dan hukumnya jelas haram.
Beli sepeda motor tunai 12 juta rupiah. Tapi kalau beli dengan cara kredit, harganya bisa membengkak jadi 16 juta bahkan lebih. Mau bilang itu bukan riba? Lho, itu kan efek dari sistem yang mau nggak mau harus kita jalani? Jangan merasa benar dulu. Kondisi “mau nggak mau” seperti itu nggak bisa masuk kategori darurat lho (untuk yang mau protes, silahkan dicek dulu perbedaan definisi dlorurot dan udzur). Satu hal yang harus dipertanyakan dalam praktek kredit yang “menyiksa” itu, ridlo-kah hati kita di saat menjalaninya?

Tetet tereeeeet………waktunya kabar gembira!!! Konsep fiqih menyatakan kalau hukum keharaman riba bisa gugur ketika ada ‘an taroodlin di antara kedua belah pihak yang bertransaksi. Kedua belah pihak sama-sama RIDLO alias nggak pakai ngedumel dengan isi perjanjian transaksi. Berapapun jumlah bunga kreditnya; asalkan saling ridlo; nggak masalah. Dengan kata lain keharaman hukum riba-nya jadi gugur.
Praktek pelonjakan harga dari proses pembelian secara kredit atau pinjaman berjangka kayaknya emang nggak bisa dihindari sebagai akibat dari produk era moderen yang bernama efisiensi. Nunggu punya uang 12 juta buat beli sepeda motor, kayaknya kelamaan. So kredit aja deh. Tapi…….hatinya mesti ditata dulu biar bisa ikhlas / ridlo sama tumpukan bunga yang bakal kita terima. Intinya gimana caranya kita tetap dapetin tuh sepeda motor, tapi dengan cara yang HALAL.
Sekarang tinggal pilih. Mau ngedapetin sepeda motor secara kredit tapi haram (karena termasuk riba), atau dapat sepeda motor kredit tapi halal. Caranya gampang kok. Cuma tinggal ridlo. Kalau penjualnya sih udah pasti ridlo. Yang beli tuh, ridlo apa enggak? Mm…mending ridlo aja deh, biar sepeda motornya halal.
Oke, Friends. Bunga kredit / bank emang nggak seindah bunga mawar. Tapi kalau kita punya modal yang namanya RIDLO, tetap aja jadi indah kok. Semoga bermanfaat.

(Pecinta Bunga)

Kamis, 06 Maret 2014

SAAT TUHAN MENGHILANG

SAAT TUHAN MENGHILANG
“Kenapa doa saya nggak kunjung dikabulkan? Jangan salahin saya dong kalau saya lantas malas beribadah”. Setidaknya seperti itu kalimat yang sering kita dengar. Tuhan dihujat dan ditinggalkan karena dianggap ingkar janji. Padahal Tuhan kan udah janji bakal menjawab semua doa???
Kalimat itu pula yang terucap dari sekian banyak tamu di rumah saya yang mungil. Iya juga sih. Tuhan Maha Kaya, tapi kok pelit. Tinggal kun fayakun aja kok pakai pertimbangan panjang. Jadi wajar dong kalau kita kemudian boleh ngelupain Tuhan dan nggak hoby bersyukur. Kan Tuhan yang bikin masalah duluan. Lupakan aku dan aku pun akan melupakan-Mu.
Friends, masih ingat nggak saat kita dulu belum punya HP (telpon selular). Saat itu kita berharap sampai ngiler biar Tuhan segera ngasih kita HP. Harapan yang plus ngiler adalah doa. Beberapa bulan kemudian setelah kita menabung sepenuh hati, akhirnya HP idaman itu bisa kita miliki. Pertanyaannya, “Ketika HP itu akhirnya bisa kita miliki, kita merasa itu adalah hasil dari kerja keras kita atau itu semata-mata jawaban Tuhan dari doa kita?”
Kita dulu nggak punya sepeda motor. Kita pun lantas berdoa. Kita dulu nggak punya rumah. Dengan khusyu’ kita pun berdoa. Di antara kita ada juga yang berdoa sambil menangis karena nggak kunjung punya momongan. Bahkan………kita sering juga berdoa hanya karena pengen punya kulit semulus artis (minimal mirip si bunga desa).
Kita lantas nggak cuma berdoa. Kita juga berusaha keras mendapatkan apa yang kita harapkan. Berbagai upaya kita lakukan. Nggak cuma sehari dua hari, bahkan terkadang bertahun-tahun. Tapi sekali lagi tolong jawab pertanyaan sederhana ini, “Ketika impian-impian itu akhirnya bisa kita miliki, kita merasa itu adalah hasil dari kerja keras kita atau itu semata-mata jawaban Tuhan dari doa kita?”
Faktanya, banyak banget kok sebenarnya doa kita yang udah dijawab sama Tuhan. Bahkan kita pasti kesulitan untuk menghitungnya. Tapi faktanya juga, kita seringkali lupa sama keterlibatan Tuhan di saat impian kita itu terwujud. Kita lebih merasa kalau impian itu terwujud gara-gara kerja keras kita. Seringkali kita lupa dengan Maha Programmer yang menggerakkan kita. Hasil akhirnya : kita pun jadinya lupa kalau itu adalah jawaban dari doa yang kita panjatkan dulu (beberapa bahkan duluuuuuuu banget).
Tuhan selalu dan pasti menjawab semua doa. Tuhan nggak pernah ingkar janji. Tapi Tuhan punya cara sendiri yang terkadang “agak susah” kita pahami untuk menepati janjinya. Tuhan memang Maha Kuasa mewujudkan apapun. Tapi Tuhan juga Maha Bijaksana. So Tuhan akan menjalankan kuasa-Nya hanya dengan cara yang bijaksana.
Sekarang………coba kita bareng-bareng mengingat apapun yang akhirnya hari ini telah kita miliki padahal dulu kayak sekedar mimpi. Lalu tanya pada hati kita masing-masing, “Masih 100% kah keberadaan Tuhan dalam kebahagiaan saya ketika sebuah mimpi / harapan akhirnya bisa saya dapatkan?”

(El-Fath Satria)