Sabtu, 31 Agustus 2013

SYARAT LAYAK DISEBUT USTADZ



SYARAT LAYAK DISEBUT USTADZ
“Robbanaa aatina fid dunyaa hasanah…. “, para peserta pun khusyu’ mengucapkan kata aamiin. Hm…..akhirnya saya berhasil juga memimpin doa penutup di acara tasyakuran hari kemerdekaan Indonesia malam itu. Gemetar tangan saya yang sebenarnya gara-gara nervous malah bikin saya terkesan meyakinkan. Seorang panitia segera menghampiri dan berkata dengan sangat sopan, “Silahkan menikmati hidangan yang di dalam aja, Ustadz”. What? Ustadz? Ternyata buat jadi ustadz di Indonesia tuh gampang banget. Cuma sekedar berani memimpin do’a di level RT udah sah jadi ustadz.
Kayaknya saya harus meningkatkan rasa syukur. Dulu di masa saya masih kecil, ustadz di desa saya cuma 1 orang. Tapi sekarang, BANYAK BANGET. Tiap RT pasti punya tokoh yang disebut ustadz. Berarti dakwah Islam mengalami kemajuan pesat dong. Buktinya ustadz bermunculan di mana-mana.
Tapi kalimat syukur di lidah saya segera saja terhapus ketika saya membuka buku-buku yang menjelaskan kriteria standar Ulama. Nggak semudah yang dibayangkan. Ribet banget. Paling nggak deretan kriteria itu secara singkat adalah sebagai berikut :
1. Ilmul Ulama’.
Seseorang baru layak disebut ulama atau dalam bahasa kita lebih familiar dengan sebutan ustadz / Kyai / ajengan kalau menguasai ilmu standar ulama. Bacaan alQur’annya harus fasih, menguasai ilmu alQur’an (tafsir, asbabun nuzul, dan sejenisnya), menguasai ilmu hadits (bukan sekedar bisa menerjemahkan hadits). Gimana caranya kita bisa ngerti seseorang itu beneran menguasai semua itu? Berguru padanya dengan pola pikir yang obyektif. Jangan obyektif pada dia keturunan siapa. Tapi obyektif pada kualitas penyampaian ilmunya.
Tapi saya juga punya cara lain yang lebih gampang. Emang sih kurang akurat, tapi lumayan efisien. Pertama, dengerin dia pas lagi baca alQur’an. Fasih atau nggak. Kalau belum paham yang fasih itu gimana, minta bantuan orang yang terkenal fasih bacaannya untuk memberikan penilaian. Yang jelas, gimana seseorang itu bisa layak disebut ustadz kalau kemampuan paling dasar untuk alQur’an (membaca) yang merupakan salah satu sumber utama hukum Islam aja dia nggak menguasai.
Kedua, orang itu menguasai bahasa Arab atau nggak. Orang yang nggak bisa bahasa Arab, jelas nggak mungkin bisa memahami Islam dengan baik. Sebab faktanya, sumber hukum Islam memang memakai bahasa Arab.
2. Hikmatul Hukama’.
Kata hikmah di sini lebih condong ke arti bijaksana. Seorang ustadz harus bijak, baik dalam menyampaikan ilmu atau pun mengambil keputusan hukum. Intinya, nggak boleh fanatik di hal-hal yang nggak layak untuk dibikin fanatik. Silahkan fanatik cinta hanya untuk Allah.  Tapi jangan pernah fanatik memaksa murid pada satu keputusan hukum di saat masih ada alternatif hukum lain yang sebanding.
Kalau kata hukamaa’ diartikan dengan hakim, pengertiannya jadi gamblang. Seorang ustadz harus beneran memahami kasus yang akan dihukumi, sebab hakim pun seperti itu. Jangan lantas menyatakan bursa saham itu haram, padahal nggak paham praktek bursa saham. Pada intinya, seorang ustadz harus membekali diri dengan penguasaan di materi ilmu selain agama sebagai standar wacana. Beneran bikin malu kalau ada ustadz yang mengatakan bahwa pesawat terbang itu diciptakan karena terinspirasi kejadian Isro’ Mi’roj Nabi Muhammad. Kelihatan banget kalau ustadz itu nggak paham ilmu sejarah. Yang paling patut digarisbawahi, seorang hakim juga harus adil. Memprihatinkan banget saat seorang ustadz menyatakan hukum halal untuk kesalahan yang dia lakukan.
Lebih jauh lagi, bijak itu nggak selalu memilih yang paling benar. Mengunci pintu masjid di luar jam jama’ah itu kurang benar, sebab menghalangi orang-orang yang ingin beri’tikaf atau ibadah yang lain. Tapi membiarkan pintu masjid selalu terbuka padahal pencurian sound system (fasilitas) masjid sangat mungkin terjadi, jelas nggak bijaksana.
3. Siyaasatul Muluk.
Lho, 2 kata itu kan berarti politik penguasa? Nggak gitu juga, Friends. Kata siyaasah arti luasnya adalah strategi. Seorang ustadz nggak sekedar cukup dengan mengusai ilmu agama. Dia juga dituntut untuk menguasai strategi kepemimpinan yang benar selaras dengan jaman dan umat yang dibinanya. Selain harus mengusai management organisasi, jam terbang juga ikut menentukan. Sangat disayangkan melihat kenyataan bahwa literatur yang menceritakan gaya kepemimpinan para tokoh Islam terdahulu, justru sangat kurang diminati oleh kalangan santri yang merupakan cikal bakal utama ustadz. Salut banget untuk pesantren yang mewajibkan masa pengabdian untuk santri-santrinya yang akan pulang kampung. Paling nggak, mereka akan lebih siap ketika suatu saat diterjunkan di masyarakat daerahnya.
Saya nggak akan memperpanjang artikel sederhana ini dengan menjelaskan kriteria taqwa dan semacamnya. Biarlah penilaian kedekatan dengan Allah itu tetap menjadi hak mutlak Allah.
Semoga artikel ini bisa dijadikan wacana pertimbangan bagi pembaca untuk mulai lebih bijak dalam memilih guru. Saya memang pernah berguru di beberapa pesantren. Tapi secara gentle saya juga harus mengakui, SAYA BELUM LAYAK DISEBUT USTADZ. Wallahu A’lam bish Showaab.
(Elfath Satria)

12 komentar:

Anonim mengatakan...

Mantap (y)

Unknown mengatakan...

Subhanallah

Unknown mengatakan...

Kirainn modal baju putih,sorban ,peci,bahu wangi,jenggot ,pinter doa udah cukup

Unknown mengatakan...

Di RW saya ada ustadz guru ngaji,imam mesjid, sekaligus ketuaRW, tp setiap ada masalah yg bersangkutan sama dia selalu dengan kekerasan contohnya gampang bgt marah dan nampar orang yg dia marahi. Apa seperti itu yg bisa disebut ustadz?

Unknown mengatakan...

Di tv jg sering film ada ustadnya. Pemeran ustad nya artis itumembawakan peran sbg ustad tp rata2 perannya ustad yg emosian suka ngomong kasar. Ga sabaran

Unknown mengatakan...

Betul banget di indonesia ini mudah banget orang disebut ustadz,, padahal panggilan ustadz itu bukan sembarang loh ada tingkatannya yg harus di pahamin dan dikuasai dalam arti luas..

Raihan RN mengatakan...

Assalamualaikum klo ga mondok bisa ngga y jadi ustadz? Soalnya saya ga mondok:(

Ruqyah center abu Jubair mengatakan...

Bisa.. tinggal tulis j di depan nama ustadz...

fitri mengatakan...

ga usah jauh jauh dkeluarga aku jga gitu. masa adek aku baru masuk pesantren dibilang klo lulus berarti nanti jd ustadz. gemes bnget dengernya kek mudah bnget gitu loh jd ustadz. sampe aku mikir ada ya org yg kek beliau ini. mnurut aku emang harus si ada standart kompetensi nya biar seseorang bsa dkatakan ustadz tp masih blm ada ya? bahaya omongannya ga bsa dpertanggung jawabkan sdngkan kita yg denger malah mengamalkan :(

Anonim mengatakan...

yg namanya ustaz ya harus bisa sabar, lalu bisa memberikan penyejuk didalam menghukumi suatu masalah, lalu tidak mudah marah apalagi sampai memukul org, ini berarti dia bukan ustaz

Anonim mengatakan...

Ya harus mondok lah, karena org yg dikatakan ustaz itu org yg faham ilmu agama dan memiliki aklak yg baik, dan bisa menyebarkan ilmu nya dengan cara lemah lembut, dgn adab sopan santun dan tidak suka membanggakan diri nya

Anonim mengatakan...

kalo ada org ngaku ustadz tapi kelakuan nya tidak bagus, suka nyakitin org lain berarti dia ustaz gadungan alias ngaku2 saja ibarat nya ni cuma bisa ngomong tapi tidak bisa melakukan apa yg dia ceramahkan itu