MENGAPA IMAM MADZHAB FIQIH BERBEDA
PENDAPAT
Seringkali dalam kalangan umat Islam masa kini timbul
pertanyaan, “Kenapa sih harus ada 4 madzhab fiqih? Bikin bingung aja”. Pertanyaan
itu kemudian dijawab, “Otak dan hati orang kan emang nggak ada yang sama. So penafsiran
terhadap alQur’an dan hadits sebagai dasar utama fiqih akhirnya juga ikutan
beda”. Tapi mengapa bisa beda dan emangnya beda itu boleh? AlQur’an dan hadits
kan nggak boleh ditafsiri seenaknya. Ada berbagai aturan yang mengikat cara
penafsirannya. Bukankah kita seharusnya tunduk patuh pada Nabi Muhammad sebagai
sang nara sumber
utamanya. Berikut ini beberapa ulasan mengapa perbedaan pendapat itu “harus”
ada :
1. Kondisi Domisili Yang Berbeda.
Kondisi domisili
seseorang pada dasarnya adalah hal penting yang ikut membentuk jenis pola
berpikirnya. Orang yang hidup di hutan, desa, kota, pantai, dan gunung tentu
saja memiliki perbedaan yang menyolok dalam pola berpikir. Ke empat imam
madzhab kebetulan memiliki area domisili yang berbeda. Imam Hanafi (Abu Hanifah
Nu’man bin Tsabit al Kufi) lahir dan besar d Irak yang kalau dibandingkan
dengan saat ini adalah Jakarta-nya Indonesia. Imam Maliki (Abu Abdulloh Malik
bin Anas) lahir dan menghabiskan hampir seluruh masa hidup beliau di Madinah
yang saat itu masih sangat kental dengan nuansa pedesaan. Imam Syafi’I (Abu
Abdulloh Muhammad bin Idris) lahir di Palestina. Namun beliau menjalani hidup
beliau dengan berpindah-pindah di berbagai daerah/negara, di mana masing masing
memiliki kondisi yang beragam. Imam Hanbali (Ahmad bin Muhammad bin Hanbal)
lahir di Baghdad Irak. Akan tetapi beliau cukup lama menuntut ilmu di Syam,
Hijaz dan Yaman yang saat itu masih belum terlalu tersentuh modernisasi.
Kondisi domisili yang berbeda-beda inilah yang sangat
berperan membentuk pola berpikir yang berbeda. Orang yang hidup di daerah
pedesaan memiliki kecenderungan untuk sangat berhati-hati dengan pakem. Hal ini diwakili oleh Imam Maliky
dan Imam Hanbaly yang terkenal sangat mengutamakan keabsahan dalil. Orang yang hidup di
perkotaan, sengaja atau tidak akan terbentuk sebagai sosok yang lebih bisa
menerima pembaharuan. Kondisi tersebut diwakili oleh Imam Hanafi yang dikenal
sebagai shohibur ra’yi. Sedangkan orang
yang hidup di desa dan di kota secara berimbang akan terbentuk sebagai sosok
yang balance, di mana kondisi ini
diwakili oleh Imam Syafi’i yang memang terkenal dengan komposisi cetusan hukum
beliau yang wasith.
2. Profesi Yang Berbeda.
Jangan salahkan para tentara
kalau dalam kesehariannya lantas terbentuk sebagai orang yang taktis dan sangat
tepat waktu hingga menjadi masalah dimasyarakatnya yang kebetulan terbiasa
memakai jam karet. Profesi yang mereka jalani membentuk mereka menjadi seperti
itu. Kyai yang hidup di desa, Kyai pesantren, Kyai yang muballigh, dan Kyai
yang yang biasa bergaul dengan kalangan pemerintahan sudah barang tentu
terbentuk menjadi Kyai dengan beraneka style yang berbeda satu sama lain.
Demikian pula halnya dengan para imam madzhab. Imam
Hanafi adalah seorang pedagang sukses. Beliau terlahir dari kalangan keluarga
pebisnis dan akhirnya menjadi seorang pebisnis pula. Prinsip utama bisnis
adalah efisiensi dan praktis. Hal ini tergambar jelas dari cetusan hukum beliau
yang cenderung paling praktis dibanding 3 imam madzhab yang lain (terutama
dalam bab buyu’/dagang). Imam Maliki dan Imam Hanbali adalah ilmuwan sejati
yang sengaja menjauh dari urusan politik. Bukan hal yang aneh jika lantas
madzhab ke dua imam ini lebih berlandaskan teori/dalil. Sangat minim sekali
pendapat keduanya yang berdasarkan pengembangan pemikiran. Imam Syafi’i pada
dasarnya adalah ilmuwan sejati pula. Tetapi Imam Syafi’i dikenal sebagai sosok
yang mampu menempatkan diri dalam pergaulan dengan bersahaja, termasuk dengan
kalangan pemerintahan. Kemampuan bergaul ini yang memungkinkan beliau untuk
mengadakan berbagai “travelling” dan survey dengan mudah, baik survey pada
kalangan awam maupun pada kalangan ulama (sebagai study banding). Kita bisa
melihat bahwa survey merupakan salah satu dasar Imam Syafi’i dalam mencetuskan
hukum-hukum tertentu. Patut digarisbawahi bahwa beliau terkenal dengan qoul qodim
dan qoul jadidnya. Tentu saja ini tidak bisa lantas kita anggap sebagai sikap
plinplan dalam berpendapat. Akan tetapi lebih tepat kalau kita sebut sebagai
penyikapan terhadap sifat hukum yang dinamis.
3. Jumlah dan Karakter Guru Para Imam Madzhab.
Imam Hanafi sebagai
seorang praktisi bisnis selain berguru tentunya memiliki pengalaman hidup yang
berbeda. Imam Maliki dan Imam Hanbali kebetulan lebih condong berguru pada
kalangan ulama murni yang memegang teguh keabsahan dalil di balik semua cetusan
hukumnya. Prinsip pencetusan hukum ke tiga imam madzhab tersebut sudah saya
coba jelaskan di penjelasan sebelumnya.
Imam Syafi’i kebetulan lumayan berbeda. Beliau adalah
imam madzhab dengan jumlah guru terbanyak. Yang paling menarik untuk ditelusuri
adalah selain berguru pada Imam Maliki, beliau juga berguru pada kalangan
Hanafiyyah. Dua jenis madzhab yang memiliki kecenderungan perbedaan menyatu
dalam diri Imam Syafi’i. Hasilnya bisa kita lihat jelas dalam cetusan hukum
versi beliau yang sangat kita kenal di Indonesia. Sebuah bentuk hukum yang
mampu berdiri di tengah-tengah kemajemukan masyarakat.
Lepas dari perbedaan background
dari masing-masing imam madzhab, ada beberapa hal penting yang harus kita
jadikan pegangan :
a) Tidak Ada Madzhab Berdasarkan Pada Ego.
Ke empat imam madzhab sangat tidak mungkin mencetuskan
hukum dengan mengedepankan ego pribadi. Ke empat imam madzhab memiliki
kemampuan dasar agama yang sangat mumpuni hingga memungkinkan mereka untuk kredibel
dalam berijtihad. Semua hukum yang mereka cetuskan selalu mengacu pada alQur’an
dan hadits yang tentu saja terkadang memang ditafsiri secara berbeda. Tapi perbedaan
penafsiran ini pun lebih didominasi oleh perbedaan pengambilan pendapat dari
guru dengan “karakter” yang berbeda.
b) Tidak Ada Yang Lebih Unggul.
Jangan lantas karena kita bermadzhab Syaf’i kita
lantas boleh menganggap madzhab yang lain itu kurang benar apalagi salah. Semua
madzhab wajib kita akui kebenarannya, tetapi kita tetap boleh memilih yang
paling kita yakini dasar pencetusan hukumnya. Yang sangat tidak boleh tentu
saja mencampur adukkan pemilihan hukum dengan mengutamakan yang “sepertinya” lebih ringan
untuk dijalani. Lebih dilarang lagi kalau kita berani mencetuskan hukum sendiri
berdasar pada alQur’an dan hadits, padahal kemampuan kita dalam ilmu alQur’an
dan ilmu hadits masih di bawah standart yang memperbolehkan kita untuk
berijtihad sendiri. Para Ulama memang tetap manusia yang mungkin salah. Tapi
kita adalah manusia yang lebih mungkin melakukan kesalahan dibanding mereka.
c) Perbedaan Pendapat Fiqih Sudah Ada Sejak Jaman Shahabat.
Sangat salah kalau kita menganggap imam madzhab
sebagai orang-orang yang “bersalah” karena membingungkan umat Islam dengan
perbedaan pendapat. Perbedaan pendapat itu sudah ada sejak jaman para shahabat,
bahkan di saat Nabi Muhammad SAW. masih ada. Justru seharusnya kita menyadari
bahwa perbedaan itu adalah sebuah rahmat dari sebuah nikmat Allah yang bernama
kebebasan berpikir secara bertanggung jawab.
Silahkan berbeda madzhab, aliran, ormas atau apalah
namanya. Tapi yang harus selalu kita pegang adalah kenyataan adanya hukum
tauhid yang menyatakan, “mengkafirkan sesama muslim itu hukumnya murtad”. Siapapun
yang menganggap kafir atau menyikapi seakan kafir terhadap muslim yang lain
pada dasarnya sudah terhitung sebagai seorang yang murtad (keluar dari agama Islam).
Semoga artikel ini bisa menjadi sedikit sumbangan untuk
para pembaca. Kritik dan saran sangat saya harapkan. Wallaahu A’lam bish Showaab.
(El-Fath Satria)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar