Kamis, 22 Agustus 2013

Mengapa "Harus" Berbeda



MENGAPA IMAM MADZHAB FIQIH BERBEDA PENDAPAT
Seringkali dalam kalangan umat Islam masa kini timbul pertanyaan, “Kenapa sih harus ada 4 madzhab fiqih? Bikin bingung aja”. Pertanyaan itu kemudian dijawab, “Otak dan hati orang kan emang nggak ada yang sama. So penafsiran terhadap alQur’an dan hadits sebagai dasar utama fiqih akhirnya juga ikutan beda”. Tapi mengapa bisa beda dan emangnya beda itu boleh? AlQur’an dan hadits kan nggak boleh ditafsiri seenaknya. Ada berbagai aturan yang mengikat cara penafsirannya. Bukankah kita seharusnya tunduk patuh pada Nabi Muhammad sebagai sang nara sumber utamanya. Berikut ini beberapa ulasan mengapa perbedaan pendapat itu “harus” ada :
1. Kondisi Domisili Yang Berbeda.
Kondisi domisili seseorang pada dasarnya adalah hal penting yang ikut membentuk jenis pola berpikirnya. Orang yang hidup di hutan, desa, kota, pantai, dan gunung tentu saja memiliki perbedaan yang menyolok dalam pola berpikir. Ke empat imam madzhab kebetulan memiliki area domisili yang berbeda. Imam Hanafi (Abu Hanifah Nu’man bin Tsabit al Kufi) lahir dan besar d Irak yang kalau dibandingkan dengan saat ini adalah Jakarta-nya Indonesia. Imam Maliki (Abu Abdulloh Malik bin Anas) lahir dan menghabiskan hampir seluruh masa hidup beliau di Madinah yang saat itu masih sangat kental dengan nuansa pedesaan. Imam Syafi’I (Abu Abdulloh Muhammad bin Idris) lahir di Palestina. Namun beliau menjalani hidup beliau dengan berpindah-pindah di berbagai daerah/negara, di mana masing masing memiliki kondisi yang beragam. Imam Hanbali (Ahmad bin Muhammad bin Hanbal) lahir di Baghdad Irak. Akan tetapi beliau cukup lama menuntut ilmu di Syam, Hijaz dan Yaman yang saat itu masih belum terlalu tersentuh modernisasi.
Kondisi domisili yang berbeda-beda inilah yang sangat berperan membentuk pola berpikir yang berbeda. Orang yang hidup di daerah pedesaan memiliki kecenderungan untuk sangat berhati-hati dengan pakem. Hal ini diwakili oleh Imam Maliky dan Imam Hanbaly yang terkenal sangat mengutamakan keabsahan dalil. Orang yang hidup di perkotaan, sengaja atau tidak akan terbentuk sebagai sosok yang lebih bisa menerima pembaharuan. Kondisi tersebut diwakili oleh Imam Hanafi yang dikenal sebagai shohibur ra’yi. Sedangkan orang yang hidup di desa dan di kota secara berimbang akan terbentuk sebagai sosok yang balance, di mana kondisi ini diwakili oleh Imam Syafi’i yang memang terkenal dengan komposisi cetusan hukum beliau yang wasith.
2. Profesi Yang Berbeda.
Jangan salahkan para tentara kalau dalam kesehariannya lantas terbentuk sebagai orang yang taktis dan sangat tepat waktu hingga menjadi masalah dimasyarakatnya yang kebetulan terbiasa memakai jam karet. Profesi yang mereka jalani membentuk mereka menjadi seperti itu. Kyai yang hidup di desa, Kyai pesantren, Kyai yang muballigh, dan Kyai yang yang biasa bergaul dengan kalangan pemerintahan sudah barang tentu terbentuk menjadi Kyai dengan beraneka style yang berbeda satu sama lain.
Demikian pula halnya dengan para imam madzhab. Imam Hanafi adalah seorang pedagang sukses. Beliau terlahir dari kalangan keluarga pebisnis dan akhirnya menjadi seorang pebisnis pula. Prinsip utama bisnis adalah efisiensi dan praktis. Hal ini tergambar jelas dari cetusan hukum beliau yang cenderung paling praktis dibanding 3 imam madzhab yang lain (terutama dalam bab buyu’/dagang). Imam Maliki dan Imam Hanbali adalah ilmuwan sejati yang sengaja menjauh dari urusan politik. Bukan hal yang aneh jika lantas madzhab ke dua imam ini lebih berlandaskan teori/dalil. Sangat minim sekali pendapat keduanya yang berdasarkan pengembangan pemikiran. Imam Syafi’i pada dasarnya adalah ilmuwan sejati pula. Tetapi Imam Syafi’i dikenal sebagai sosok yang mampu menempatkan diri dalam pergaulan dengan bersahaja, termasuk dengan kalangan pemerintahan. Kemampuan bergaul ini yang memungkinkan beliau untuk mengadakan berbagai “travelling” dan survey dengan mudah, baik survey pada kalangan awam maupun pada kalangan ulama (sebagai study banding). Kita bisa melihat bahwa survey merupakan salah satu dasar Imam Syafi’i dalam mencetuskan hukum-hukum tertentu. Patut digarisbawahi bahwa beliau terkenal dengan qoul qodim dan qoul jadidnya. Tentu saja ini tidak bisa lantas kita anggap sebagai sikap plinplan dalam berpendapat. Akan tetapi lebih tepat kalau kita sebut sebagai penyikapan terhadap sifat hukum yang dinamis.
3. Jumlah dan Karakter Guru Para Imam Madzhab.
Imam Hanafi sebagai seorang praktisi bisnis selain berguru tentunya memiliki pengalaman hidup yang berbeda. Imam Maliki dan Imam Hanbali kebetulan lebih condong berguru pada kalangan ulama murni yang memegang teguh keabsahan dalil di balik semua cetusan hukumnya. Prinsip pencetusan hukum ke tiga imam madzhab tersebut sudah saya coba jelaskan di penjelasan sebelumnya.
Imam Syafi’i kebetulan lumayan berbeda. Beliau adalah imam madzhab dengan jumlah guru terbanyak. Yang paling menarik untuk ditelusuri adalah selain berguru pada Imam Maliki, beliau juga berguru pada kalangan Hanafiyyah. Dua jenis madzhab yang memiliki kecenderungan perbedaan menyatu dalam diri Imam Syafi’i. Hasilnya bisa kita lihat jelas dalam cetusan hukum versi beliau yang sangat kita kenal di Indonesia. Sebuah bentuk hukum yang mampu berdiri di tengah-tengah kemajemukan masyarakat.
Lepas dari perbedaan background dari masing-masing imam madzhab, ada beberapa hal penting yang harus kita jadikan pegangan :
a) Tidak Ada Madzhab Berdasarkan Pada Ego.
Ke empat imam madzhab sangat tidak mungkin mencetuskan hukum dengan mengedepankan ego pribadi. Ke empat imam madzhab memiliki kemampuan dasar agama yang sangat mumpuni hingga memungkinkan mereka untuk kredibel dalam berijtihad. Semua hukum yang mereka cetuskan selalu mengacu pada alQur’an dan hadits yang tentu saja terkadang memang ditafsiri secara berbeda. Tapi perbedaan penafsiran ini pun lebih didominasi oleh perbedaan pengambilan pendapat dari guru dengan “karakter” yang berbeda.
b) Tidak Ada Yang Lebih Unggul.
Jangan lantas karena kita bermadzhab Syaf’i kita lantas boleh menganggap madzhab yang lain itu kurang benar apalagi salah. Semua madzhab wajib kita akui kebenarannya, tetapi kita tetap boleh memilih yang paling kita yakini dasar pencetusan hukumnya. Yang sangat tidak boleh tentu saja mencampur adukkan pemilihan hukum dengan mengutamakan yang “sepertinya” lebih ringan untuk dijalani. Lebih dilarang lagi kalau kita berani mencetuskan hukum sendiri berdasar pada alQur’an dan hadits, padahal kemampuan kita dalam ilmu alQur’an dan ilmu hadits masih di bawah standart yang memperbolehkan kita untuk berijtihad sendiri. Para Ulama memang tetap manusia yang mungkin salah. Tapi kita adalah manusia yang lebih mungkin melakukan kesalahan dibanding mereka.
c) Perbedaan Pendapat Fiqih Sudah Ada Sejak Jaman Shahabat.
Sangat salah kalau kita menganggap imam madzhab sebagai orang-orang yang “bersalah” karena membingungkan umat Islam dengan perbedaan pendapat. Perbedaan pendapat itu sudah ada sejak jaman para shahabat, bahkan di saat Nabi Muhammad SAW. masih ada. Justru seharusnya kita menyadari bahwa perbedaan itu adalah sebuah rahmat dari sebuah nikmat Allah yang bernama kebebasan berpikir secara bertanggung jawab.
Silahkan berbeda madzhab, aliran, ormas atau apalah namanya. Tapi yang harus selalu kita pegang adalah kenyataan adanya hukum tauhid yang menyatakan, “mengkafirkan sesama muslim itu hukumnya murtad”. Siapapun yang menganggap kafir atau menyikapi seakan kafir terhadap muslim yang lain pada dasarnya sudah terhitung sebagai seorang yang murtad (keluar dari agama Islam).
Semoga artikel ini bisa menjadi sedikit sumbangan untuk para pembaca. Kritik dan saran sangat saya harapkan. Wallaahu A’lam bish Showaab.
(El-Fath Satria)

Tidak ada komentar: