SANTRI KEHILANGAN
PENERANGAN
“Hhh….alumni pesantren kok malah
jadi pimpinan aliran
sesat”. Lama-lama gatal juga
telinga kalau dengar kalimat itu. Mau ngebantah….faktanya yang kayak gitu emang
lumayan banyak. Alumni pesantren tapi keblinger. Mending kalau cuma nakal
tindakan. Ini nakalnya urusan aqidah. Padahal nyantrinya lumayan lama lho. Berikut
ini hasil survey saya sehubungan sama beberapa penyebab kenapa santri yang udah
lama banget di pesantren masih juga terpeleset ke aliran yang nggak benar.
1. Tawadlu’ Lebay Pada Kyai.
Saya masih ingat betul
gimana marahnya para ustadz gara-gara saya berbeda pendapat sama Pak Kyai
(almarhum). Katanya saya tuh nggak tawadlu’. Padahal saat itu Pak Kyai
tenang-tenang aja. So what gitu loh. Berbeda pendapat sama guru itu sah-sah aja
selama kita nyampaikannya dengan etika yang benar. Jangan pernah lupa kalau guru
kita itu cuma manusia yang masih mungkin salah. Jangan pernah lupa juga kalau
Imam Syafi’i adalah murid Imam Maliki dan Imam Hanafi. Tapi nyatanya madzhab
beliau berbeda dengan kedua gurunya. Faktanya, Imam Syafi’i nggak kualat.
Pesantren adalah tempat
mencetak agamawan yang mandiri dalam mencetuskan pemahaman atas sebuah hukum,
bukan mencetak agamawan yang apa kata Pak Kyai. Kyai kita bukan makhluk abadi
yang bisa selalu mendampingi kita. Beliau pada saatnya akan berhadapan dengan
kata wafat. So penting banget bagi santri untuk nggak bergantung mutlak pada
Kyai.
Agamawan keblinger akan bilang, “Kalau kata Pak Kyai
sih hukumnya begini”. Sedang agamawan sejati akan bilang, “Kalau berdasarkan
dalil ini, maka hukumnya begini”.
2. Wawasan Pengetahuan Umum Yang Minim.
Allah nggak pernah
ngebedain ilmu agama dengan ilmu umum. Lewat baginda Nabi, Allah menyatakan
wajibnya mencari ilmul haal atau ilmu
yang dibutuhkan secara kondisional. Kalau kita butuh lulus sekolah, itu berarti
wajib bagi kita untuk mengusai ilmu sekolah. Kita lagi dituntut bisa bikin
rumah, berarti kita wajib belajar ilmu pertukangan. Kita mempelajari ilmu
agama, berarti kita juga wajib menguasai ilmu umum yang bisa mendukung
pemahaman kita menjadi lebih baik.
Seandainya kita paham ilmu geografi
dengan baik, nggak bakalan ada santri yang takjub mendengar ada orang Indonesia
yang nggak tidur di waktu sholat Jum’at dengan alasan dia sholat di Arab. Sebab
kita jelas paham kalau waktu di Indonesia dan Arab terpaut sekitar 4 jam. Itu
artinya ketika adzan Dzuhur dikumandangkan di Indonesia, maka di Arab masih
sekitar jam 8 pagi. So tuh orang jama’ah Jum’at sama siapa???
Wawasan umum akan
bikin kita paham bahwa rokok yang dimaksud dalam banyak kitab feqih itu beda
sama rokok yang kita kenal saat ini. Kita juga jadi tahu kalau dlob (biawak) Arab yang dalam hadits
jelas beda sama biawak Indonesia. Kita juga jadi tahu kalau bola udah diciptakan
oleh orang Yunani jauh sebelum tragedi Karbella (So
jangan sembarangan mengharamkan sepak bola). Bahkan kita juga nggak bakal sok
tahu mengharamkan babi dengan alasan cacing pita, sebab fakta biologi
menyatakan bahwa cacing pita di tubuh sapi jauh lebih banyak dibanding pada
tubuh babi.
Singkat kata, ilmu umum membuat otak kita terbentuk
tetap rasional. Otak rasional selalu menuntut sebuah bukti. Bukan sekedar
dengar dan percaya tanpa bukti yang nyatanya bikin banyak santri jadi keblinger
sama oknum
agamawan palsu yang jago omong
kosong. So kalau dengar ada guru spiritual yang bisa terbang, bilang aja
“Tolong tunjukin ke saya dong. Sebentaaaaaar aja”. Jangan langsung bilang WOW
tanpa bukti. Oke?
3. Minim Jam Terbang.
Terus terang saya
nggak setuju sama pesantren yang terlalu “memenjarakan” santri. “Mau nyantri di sini? Lepas
semua contact dengan dunia luar !! “. Padahal kan kita hanya bisa jadi matang
kalau terbiasa menghadapi masalah, bukan malah lari dari masalah.
Contoh kecilnya, saya
merasa sangat beruntung ketika dulu almarhum Pak Kyai memberi saya ijin untuk
bergaul dengan beberapa dukun ternama di pulau Jawa. Pak Kyai mendampingi saya,
bukan melepas saya. Beliau memberi bantahan rasional (lewat diskusi obyektif)
atas semua hal ajaib yang saya temui pada diri para dukun. So saya jadi lebih
bisa ngebedain mana yang dukun dan mana yang waliyulloh di saat dua kubu yang
berbeda itu lagi sama-sama ajaib.
Singkat kata, sistem pesantren seharusnya jangan melarang
santri untuk bergaul akrab dengan siapapun. Cukup berikan batasan lunak tapi tegas, bukan sebuah
penjara. Setidaknya berikan pengertian gamblang bahwa peribahasa “bagai katak
dalam tempurung” itu emang beneran berbahaya. Bukan sekedar bahaya ke sikap.
Tapi bahkan pada akidah. Salam hormat dan dukungan penuh saya untuk pesantren
yang menerapkan wajib TURBA bagi santri dengan didampingi ustadz yang mumpuni.
Semoga artikel ini bisa jadi bahan perenungan bagi
siapapun yang membacanya. Paling nggak akan bikin kita ingat bahwa tugas santri
adalah menyebarkan agama, bukan memelesetkannya. Patut diingat bahwa baginda
Nabi nggak pernah membatasi minat belajar dan pergaulan beliau dengan siapapun.
Tapi beliau tetap jadi sosok yang memberi pengaruh lho, bukan malah
dipengaruhi. So semoga santri yang mulai kehilangan arah segera mendapat
hidayah dari Allah. Kesalahan adalah hal biasa selama diikuti dengan pengakuan
plus pertaubatan yang sesuai. Good Luck !!
(El-Fath
Satria)