SYARAT
LAYAK DISEBUT USTADZ
“Robbanaa aatina
fid dunyaa hasanah…. “, para peserta pun khusyu’ mengucapkan kata aamiin. Hm…..akhirnya
saya berhasil juga memimpin doa penutup di acara tasyakuran hari kemerdekaan
Indonesia malam itu. Gemetar tangan saya yang sebenarnya gara-gara nervous malah bikin saya terkesan meyakinkan. Seorang
panitia segera menghampiri dan berkata dengan sangat sopan, “Silahkan menikmati
hidangan yang di dalam aja, Ustadz”. What? Ustadz? Ternyata buat jadi ustadz di
Indonesia tuh gampang banget. Cuma sekedar berani memimpin do’a di level RT
udah sah jadi ustadz.
Kayaknya saya
harus meningkatkan rasa syukur. Dulu di masa saya masih kecil, ustadz di desa
saya cuma 1 orang. Tapi sekarang, BANYAK BANGET. Tiap RT pasti punya tokoh yang
disebut ustadz. Berarti dakwah Islam mengalami kemajuan pesat dong. Buktinya ustadz
bermunculan di mana-mana.
Tapi kalimat
syukur di lidah saya segera saja terhapus ketika saya membuka buku-buku yang
menjelaskan kriteria standar Ulama. Nggak semudah yang dibayangkan. Ribet banget.
Paling nggak deretan kriteria itu secara singkat adalah sebagai berikut :
1. Ilmul Ulama’.
Seseorang baru layak disebut ulama atau dalam bahasa
kita lebih familiar dengan sebutan ustadz / Kyai / ajengan kalau menguasai ilmu
standar ulama. Bacaan alQur’annya harus fasih, menguasai ilmu alQur’an (tafsir,
asbabun nuzul, dan sejenisnya), menguasai ilmu hadits (bukan sekedar bisa
menerjemahkan hadits). Gimana caranya kita bisa ngerti seseorang itu beneran
menguasai semua itu? Berguru padanya dengan pola pikir yang obyektif. Jangan
obyektif pada dia keturunan siapa. Tapi obyektif pada kualitas penyampaian
ilmunya.
Tapi saya juga punya cara lain yang lebih gampang. Emang
sih kurang akurat, tapi lumayan efisien. Pertama, dengerin dia pas lagi baca alQur’an. Fasih
atau nggak. Kalau belum paham yang fasih itu gimana, minta bantuan orang yang
terkenal fasih bacaannya untuk memberikan penilaian. Yang jelas, gimana
seseorang itu bisa layak disebut ustadz kalau kemampuan paling dasar untuk
alQur’an (membaca) yang merupakan salah satu sumber utama hukum Islam aja dia
nggak menguasai.
Kedua,
orang itu menguasai bahasa Arab atau nggak. Orang yang nggak bisa bahasa Arab,
jelas nggak mungkin bisa memahami Islam dengan baik. Sebab faktanya, sumber hukum
Islam memang memakai bahasa Arab.
2. Hikmatul
Hukama’.
Kata hikmah di sini lebih condong ke arti bijaksana.
Seorang ustadz harus bijak, baik dalam menyampaikan ilmu atau pun mengambil
keputusan hukum. Intinya, nggak boleh fanatik di hal-hal yang nggak layak untuk
dibikin fanatik. Silahkan fanatik cinta hanya untuk Allah. Tapi jangan pernah fanatik memaksa murid pada
satu keputusan hukum di saat masih ada alternatif hukum lain yang sebanding.
Kalau kata hukamaa’
diartikan dengan hakim, pengertiannya jadi gamblang. Seorang ustadz harus
beneran memahami kasus yang akan dihukumi, sebab hakim pun seperti itu. Jangan lantas
menyatakan bursa saham itu haram, padahal nggak paham praktek bursa saham. Pada
intinya, seorang ustadz harus membekali diri dengan penguasaan di materi ilmu
selain agama sebagai standar wacana. Beneran bikin malu kalau ada ustadz yang
mengatakan bahwa pesawat terbang itu diciptakan karena terinspirasi kejadian
Isro’ Mi’roj Nabi Muhammad. Kelihatan banget kalau ustadz itu nggak paham ilmu sejarah.
Yang paling patut digarisbawahi, seorang hakim juga harus adil. Memprihatinkan
banget saat seorang ustadz menyatakan hukum halal untuk kesalahan yang dia
lakukan.
Lebih jauh lagi,
bijak itu nggak selalu memilih yang paling benar. Mengunci pintu masjid di luar
jam jama’ah itu kurang benar, sebab menghalangi orang-orang yang ingin beri’tikaf
atau ibadah yang lain. Tapi membiarkan pintu masjid selalu terbuka padahal
pencurian sound system (fasilitas) masjid sangat mungkin terjadi, jelas nggak
bijaksana.
3. Siyaasatul
Muluk.
Lho, 2 kata itu
kan berarti politik penguasa? Nggak gitu juga, Friends. Kata siyaasah arti luasnya adalah strategi.
Seorang ustadz nggak sekedar cukup dengan mengusai ilmu agama. Dia juga
dituntut untuk menguasai strategi kepemimpinan yang benar selaras dengan jaman
dan umat yang dibinanya. Selain harus mengusai management organisasi, jam terbang
juga ikut menentukan. Sangat disayangkan melihat kenyataan bahwa literatur yang
menceritakan gaya kepemimpinan para tokoh Islam terdahulu, justru sangat kurang
diminati oleh kalangan santri yang merupakan cikal bakal utama ustadz. Salut banget
untuk pesantren yang mewajibkan masa pengabdian untuk santri-santrinya yang
akan pulang kampung. Paling nggak, mereka akan lebih siap ketika suatu saat diterjunkan
di masyarakat daerahnya.
Saya nggak akan
memperpanjang artikel sederhana ini dengan menjelaskan kriteria taqwa dan
semacamnya. Biarlah penilaian kedekatan dengan Allah itu tetap menjadi hak
mutlak Allah.
Semoga artikel
ini bisa dijadikan wacana pertimbangan bagi pembaca untuk mulai lebih bijak
dalam memilih guru. Saya memang pernah berguru di beberapa pesantren. Tapi secara
gentle saya juga harus mengakui, SAYA
BELUM LAYAK DISEBUT USTADZ. Wallahu A’lam bish Showaab.
(Elfath
Satria)