TERNYATA LEVELKU NGGAK SETINGGI ITU
Pada pertengahan tahun 1990 sebuah pondok
pesantren di Sidoarjo kedatangan seorang santri baru. Sebut aja namanya Amir.
Nggak ada yang terlihat istimewa. Dia hanya seorang remaja lulusan SMP yang
ingin memperdalam agama. Cuma gitu aja? So pasti enggak. Ternyata santri baru
ini luar biasa. Hanya dalam hitungan bulan, dia udah bisa menguasai hampir
semua materi yang ada di pesantren. Nih santri baru tiba-tiba aja layak disejajarkan
dengan para santri senior. Semangat belajar yang tinggi dan kecerdasan otaknya
membuat dirinya menjadi santri yang menakjubkan.
Tepat di bulan ke 8, Amir diangkat menjadi ustadz
/ guru di pesantren itu. Sebuah pencapaian yang luar biasa, sebab ustadz yang
lain minimal harus menempuh 6 tahun untuk menduduki posisi terhormat itu.
Nyatanya Amir bukan malah berhenti melangkah. Ilmu apapun berusaha dia kuasai. Hari
harinya dihabiskan hanya untuk membaca, berguru dan tenggelam mengasah berbagai
ketrampilan yang nggak biasa dikuasai oleh para santri. Berbagai prestasi akademis
dan non akademis juga diraihnya. Namanya pun mulai diperhitungkan, bahkan di
banyak pesantren yang lain. Singkat kata, Amir telah menjadi santri lengkap
tanpa cela. Sosok santri salaf handal yang juga menguasai materi ilmu umum dan
berbagai skill secara matang. Semua itu akhirnya mengantarkan Amir menjadi
kepala dewan asatidz/guru. Para ustadz-nya kini malah beralih menjadi anak
buahnya.
Tak ada gading yang tak retak. Keberhasilan yang terlalu menakjubkan itu
pada akhirnya mulai membuat Amir merasa tak terkalahkan. Santri baru luar biasa
yang dicintai oleh para ulama didaerahnya. Amir berpikir bahwa nggak seharusnya
dia melakukan amaliyah seperti umumnya santri yang lain. Kebetulan di pesantren
itu ada waktu-waktu tertentu untuk melakukan wirid / istighosah dan beberapa
amaliyah lain yang wajib diikuti oleh semua penghuni pesantren. Amir ingin
sesuatu yang beda. Sesuatu yang sesuai dengan levelnya. Amaliyah wajib ala
pesantren terlalu ringan untuk Amir.
Di satu pagi Amir menghadap pada Pak Kyai
yang memimpin pesantren itu. Dengan PD-nya Amir berkata, “Pak Kyai, saya sudah
membuktikan kalau saya adalah santri yang luar biasa. Tolong beri saya amalan
yang lebih berat
dibanding amalan santri lain”. Pak Kyai tersenyum. Lalu dengan tenang beliau
menjawab, “Tiga hari lagi, kamu temui saya”.
Hari demi hari berlalu dengan cepatnya. Hingga
tibalah hari yang dinantikan Amir. Dengan penuh semangat, Amir mengucap salam
di depan pintu rumah Pak Kyai. Seperti yang sudah-sudah, Pak Kyai dengan wajah
tenangnya memandang Amir penuh rasa sayang. Sebuah senyum hangat mengawali
dialog mereka di hari itu.
“Amir Anakku…selama 3 hari ini saya terus
mengamati kamu. Saya akan memenuhi permintaan kamu. Tapi tolong jawab dulu
pertanyaan-pertanyaan saya” ujar Pak Kyai sambil memandang tajam ke arah Amir.
“Amir…sebagai seorang ustadz, kamu pasti
tahu cara berwudlu yang paling benar”
“Iya, Pak Kyai”
“Tapi kenapa kamu biasa berwudlu seenaknya? Padahal itu kan
bukan sesuatu yang berat”
Amir langsung tertunduk. Dibenaknya langsung
terlintas bagaimana dia biasa berwudlu asal sah. Dia bukan nggak bisa berwudlu
dengan sempurna. Dia hanya malas melakukannya. Padahal berwudlu secara sempurna
bahkan sudah dipelajarinya sebelum masuk ke pesantren.
“Saya juga yakin kalau kamu tahu mestinya
masuk kamar mandi itu mendahulukan kaki yang mana. Kalau keluar pakai kaki yang
mana dulu. Begitu juga dengan masuk dan keluar dari masjid. Tapi nyatanya kamu
tidak benar-benar melakukannya. Padahal itu sangat ringan. Anak kecil pun jelas bisa” lanjut
Pak Kyai hingga wajah Amir semakin menunduk pucat.
Pak Kyai lalu berpindah duduk di sebelah
Amir. Didekapnya pundak Amir membuatnya semakin salah tingkah. Lalu Pak Kyai
mulai membahas satu persatu kelalaian Amir. Mulai dari nggak terbiasa mengisi
shof kosong saat berjamaah, nggak biasa melakukan gerakan sholat dengan benar, nggak
terbiasa mengucapkan basmalah dan hamdalah ketika makan, bahkan sampai
nggak terbiasanya Amir minum sambil duduk. Semua itu selalu diakhiri dengan
kalimat “Padahal itu kan ringan. Anak kecil pun bisa”. Amir terpekur. Santri luar
biasa itu seakan kehilangan semua kehebatannya. Lalu dengan suara yang
berwibawa, Pak Kyai melanjutkan pembicaraannya.
“Kalau yang ringan seperti hal-hal tadi saja
kamu belum bisa melaksanakan, bagaimana mungkin kamu merasa bisa melakukan
amalan yang berat? Hm…sekarang coba jawab, apakah kamu akan tetap meminta
amalan yang berat, Nak?”
Tidak ada sepatah kata pun yang keluar dari
bibir Amir selain suara isak tangis. Penjelasan sederhana Pak Kyai serasa
seperti sebuah palu godam yang memporakporandakan kesombongannya.
Pak Kyai menutup dialog pagi itu dengan,”Anakku,
setinggi apapun ilmu kamu tidak akan berarti jika hanya sekedar menjadi teori. Allah mencintaimu
bukan karena sekedar teori. Nak…setinggi apapun juga ilmu kamu, akan
selalu ada yang mengalahkanmu. Jadi sampai ajal menjemputmu, jangan pernah
berhenti untuk berguru. Karena setiap muslim memang diwajibkan untuk menuntut
ilmu hingga mati. Saya diakui oleh orang-orang sebagai seorang Kyai. Tapi
sampai hari ini pun saya masih terus berguru”
Hari itu menjadi awal perubahan hidup Amir. Sang
santri menakjubkan kini tidak lagi memiliki keberanian untuk mendongakkan
kepala. Lalu bagaimana dengan kita yang sering merasa sangat unggul hingga
tidak mau lagi mengenal kata kalah?
NB :
|
Artikel ini saya tulis sesuai dengan kisah yang saya dengar
dari narasumber. Tapi beliau tidak berkenan untuk ditulis namanya. Harap
maklum.
|
(El-Fath Satria)
2 komentar:
wah kreativ http://http://ulipmuskaizoku.wen.su/
Makasih reward-nya. Sy cuma nulis hasil wawancara kok
Posting Komentar