Senin, 29 Juli 2013

TERNYATA LEVELKU NGGAK SETINGGI ITU

TERNYATA LEVELKU NGGAK SETINGGI ITU
Pada pertengahan tahun 1990 sebuah pondok pesantren di Sidoarjo kedatangan seorang santri baru. Sebut aja namanya Amir. Nggak ada yang terlihat istimewa. Dia hanya seorang remaja lulusan SMP yang ingin memperdalam agama. Cuma gitu aja? So pasti enggak. Ternyata santri baru ini luar biasa. Hanya dalam hitungan bulan, dia udah bisa menguasai hampir semua materi yang ada di pesantren. Nih santri baru tiba-tiba aja layak disejajarkan dengan para santri senior. Semangat belajar yang tinggi dan kecerdasan otaknya membuat dirinya menjadi santri yang menakjubkan.
Tepat di bulan ke 8, Amir diangkat menjadi ustadz / guru di pesantren itu. Sebuah pencapaian yang luar biasa, sebab ustadz yang lain minimal harus menempuh 6 tahun untuk menduduki posisi terhormat itu. Nyatanya Amir bukan malah berhenti melangkah. Ilmu apapun berusaha dia kuasai. Hari harinya dihabiskan hanya untuk membaca, berguru dan tenggelam mengasah berbagai ketrampilan yang nggak biasa dikuasai oleh para santri. Berbagai prestasi akademis dan non akademis juga diraihnya. Namanya pun mulai diperhitungkan, bahkan di banyak pesantren yang lain. Singkat kata, Amir telah menjadi santri lengkap tanpa cela. Sosok santri salaf handal yang juga menguasai materi ilmu umum dan berbagai skill secara matang. Semua itu akhirnya mengantarkan Amir menjadi kepala dewan asatidz/guru. Para ustadz-nya kini malah beralih menjadi anak buahnya.
Tak ada gading yang tak retak. Keberhasilan yang terlalu menakjubkan itu pada akhirnya mulai membuat Amir merasa tak terkalahkan. Santri baru luar biasa yang dicintai oleh para ulama didaerahnya. Amir berpikir bahwa nggak seharusnya dia melakukan amaliyah seperti umumnya santri yang lain. Kebetulan di pesantren itu ada waktu-waktu tertentu untuk melakukan wirid / istighosah dan beberapa amaliyah lain yang wajib diikuti oleh semua penghuni pesantren. Amir ingin sesuatu yang beda. Sesuatu yang sesuai dengan levelnya. Amaliyah wajib ala pesantren terlalu ringan untuk Amir.
Di satu pagi Amir menghadap pada Pak Kyai yang memimpin pesantren itu. Dengan PD-nya Amir berkata, “Pak Kyai, saya sudah membuktikan kalau saya adalah santri yang luar biasa. Tolong beri saya amalan yang lebih berat dibanding amalan santri lain”. Pak Kyai tersenyum. Lalu dengan tenang beliau menjawab, “Tiga hari lagi, kamu temui saya”.
Hari demi hari berlalu dengan cepatnya. Hingga tibalah hari yang dinantikan Amir. Dengan penuh semangat, Amir mengucap salam di depan pintu rumah Pak Kyai. Seperti yang sudah-sudah, Pak Kyai dengan wajah tenangnya memandang Amir penuh rasa sayang. Sebuah senyum hangat mengawali dialog mereka di hari itu.
“Amir Anakku…selama 3 hari ini saya terus mengamati kamu. Saya akan memenuhi permintaan kamu. Tapi tolong jawab dulu pertanyaan-pertanyaan saya” ujar Pak Kyai sambil memandang tajam ke arah Amir.
“Amir…sebagai seorang ustadz, kamu pasti tahu cara berwudlu yang paling benar”
“Iya, Pak Kyai”
“Tapi kenapa kamu biasa berwudlu seenaknya? Padahal itu kan bukan sesuatu yang berat”
Amir langsung tertunduk. Dibenaknya langsung terlintas bagaimana dia biasa berwudlu asal sah. Dia bukan nggak bisa berwudlu dengan sempurna. Dia hanya malas melakukannya. Padahal berwudlu secara sempurna bahkan sudah dipelajarinya sebelum masuk ke pesantren.
“Saya juga yakin kalau kamu tahu mestinya masuk kamar mandi itu mendahulukan kaki yang mana. Kalau keluar pakai kaki yang mana dulu. Begitu juga dengan masuk dan keluar dari masjid. Tapi nyatanya kamu tidak benar-benar melakukannya. Padahal itu sangat ringan. Anak kecil pun jelas bisa” lanjut Pak Kyai hingga wajah Amir semakin menunduk pucat.
Pak Kyai lalu berpindah duduk di sebelah Amir. Didekapnya pundak Amir membuatnya semakin salah tingkah. Lalu Pak Kyai mulai membahas satu persatu kelalaian Amir. Mulai dari nggak terbiasa mengisi shof kosong saat berjamaah, nggak biasa melakukan gerakan sholat dengan benar, nggak terbiasa mengucapkan basmalah dan hamdalah ketika makan, bahkan sampai nggak terbiasanya Amir minum sambil duduk. Semua itu selalu diakhiri dengan kalimat “Padahal itu kan ringan. Anak kecil pun bisa”. Amir terpekur. Santri luar biasa itu seakan kehilangan semua kehebatannya. Lalu dengan suara yang berwibawa, Pak Kyai melanjutkan pembicaraannya.
“Kalau yang ringan seperti hal-hal tadi saja kamu belum bisa melaksanakan, bagaimana mungkin kamu merasa bisa melakukan amalan yang berat? Hm…sekarang coba jawab, apakah kamu akan tetap meminta amalan yang berat, Nak?”
Tidak ada sepatah kata pun yang keluar dari bibir Amir selain suara isak tangis. Penjelasan sederhana Pak Kyai serasa seperti sebuah palu godam yang memporakporandakan kesombongannya.
Pak Kyai menutup dialog pagi itu dengan,”Anakku, setinggi apapun ilmu kamu tidak akan berarti jika hanya sekedar menjadi teori. Allah mencintaimu bukan karena sekedar teori. Nak…setinggi apapun juga ilmu kamu, akan selalu ada yang mengalahkanmu. Jadi sampai ajal menjemputmu, jangan pernah berhenti untuk berguru. Karena setiap muslim memang diwajibkan untuk menuntut ilmu hingga mati. Saya diakui oleh orang-orang sebagai seorang Kyai. Tapi sampai hari ini pun saya masih terus berguru”
Hari itu menjadi awal perubahan hidup Amir. Sang santri menakjubkan kini tidak lagi memiliki keberanian untuk mendongakkan kepala. Lalu bagaimana dengan kita yang sering merasa sangat unggul hingga tidak mau lagi mengenal kata kalah?

NB :
Artikel ini saya tulis sesuai dengan kisah yang saya dengar dari narasumber. Tapi beliau tidak berkenan untuk ditulis namanya. Harap maklum.

(El-Fath Satria)

2 komentar:

Anonim mengatakan...

wah kreativ http://http://ulipmuskaizoku.wen.su/

Unknown mengatakan...

Makasih reward-nya. Sy cuma nulis hasil wawancara kok