Senin, 29 Juli 2013

WIRID HEBAT ITU NGGAK ADA



WIRID HEBAT ITU NGGAK ADA
“Eh, aku habis dikasih wirid ‘sangar’ lho sama Pak Kyai Fulan”. Kalimat berkesan keren itu seringkali kita dengar di lingkungan kita. Terutama ketika seseorang mendapatkan sebuah wirid yang kalimat-kalimatnya belum pernah dia dengar. Belum lagi kalau yang ngasih terus bilang kalau wirid itu adalah wirid yang dulu biasa diistoqomahkan oleh salah satu waliyulloh. Hm….emang wirid itu beneran ada yang hebat ya?
Lepas dari betapa bermanfaatnya keberadaan berbagai perkumpulan Islami (jam’iyah istighotsah, forum wirid, thoriqoh atau yang sejenisnya) untuk keberlangsungan dakwah, mestinya kita juga nggak boleh lupa kalau di manaqib Syekh Abdul Qodir al-Jilany tertulis sebuah keterangan yang menyatakan bahwa di masa itu ribuan ahli thoriqoh telah sukses disesatkan oleh iblis and friends. Mereka menyesatkan para jamaah thoriqoh bukan dengan cara menggoda mereka agar melakukan kema’siyatan. Tapi iblis and friends merangsang munculnya “merasa menjadi istimewa/baik” yang dengan sendirinya berakhir dengan kesombongan. Kesombongan……sebuah karakter yang telah membuat Iblis mendapat laknat Allah selamanya.
Wirid hebat itu nggak ada, Saudaraku. Yang hebat itu hanya Allah. Islam nggak pernah mengajari kita untuk menjadi ahli wirid. Islam mengajari kita untuk menjadi ahli dzikir, Ahli mengingat Allah. Seindah dan sebanyak apapun kalimat wirid yang kita baca, tetap saja itu hanya akan menjadi sebuah wirid kalau wirid itu nggak bisa menjadi perantara kita untuk semakin ingat dengan Allah. Kalaupun ada kemampuan luar biasa yang muncul setelah kita mengistiqomahkan sebuah wirid, kemampuan itu datangnya dari Allah, bukan dari wirid yang kita baca. Jelas syirik kalau kita menganggap wirid kitalah yang hebat.
Kenyataannya masih banyak murid yang kecewa ketika Sang Guru memberinya wirid berupa kalimat yang sudah sangat dia kenal. Tapi semangatnya seketika membara ketika Sang Guru mengijazahkan/memberinya sebuah wirid yang kalimatnya baru pertama kali dia dengar. Padahal bukan kalimat dalam wirid itu yang akan mengantar kita pada Allah. Tapi tersambungnya hati kita pada Allah di saat membaca wiridlah yang lebih menjadi penentu.
Jadi bukankah sangat salah kalau kita masih merasa menjadi muslim yang lebih sempurna hanya karena perkumpulan yang kita ikuti atau wirid yang kita jalani. Yang diperhitungkan oleh Allah di padang mahsyar bukan jumlah atau seperti apa wirid kita, tapi seberapa berdzikir jiwa dan raga kita di saat menjalaninya. Jam’iyah istighotsah, majlis dzikir, thoriqoh dan yang semacamnya hanyalah jalan yang sudah seharusnya kita tempuh untuk mendapatkan ridlo Allah. Tapi semua itu akan percuma saja kalau nggak menjelma menjadi dzikir bagi jiwa dan raga kita.
Yang jelas, salah satu ciri ahli dzikir yang nggak terbantahkan adalah dia haus akan kritik dan saran, bukannya malah haus akan pengakuan dan pujian. Semoga kita tetap dalam bimbingan lembut Allah. Aamiin.

(Pencari Hidayah)

TERNYATA LEVELKU NGGAK SETINGGI ITU

TERNYATA LEVELKU NGGAK SETINGGI ITU
Pada pertengahan tahun 1990 sebuah pondok pesantren di Sidoarjo kedatangan seorang santri baru. Sebut aja namanya Amir. Nggak ada yang terlihat istimewa. Dia hanya seorang remaja lulusan SMP yang ingin memperdalam agama. Cuma gitu aja? So pasti enggak. Ternyata santri baru ini luar biasa. Hanya dalam hitungan bulan, dia udah bisa menguasai hampir semua materi yang ada di pesantren. Nih santri baru tiba-tiba aja layak disejajarkan dengan para santri senior. Semangat belajar yang tinggi dan kecerdasan otaknya membuat dirinya menjadi santri yang menakjubkan.
Tepat di bulan ke 8, Amir diangkat menjadi ustadz / guru di pesantren itu. Sebuah pencapaian yang luar biasa, sebab ustadz yang lain minimal harus menempuh 6 tahun untuk menduduki posisi terhormat itu. Nyatanya Amir bukan malah berhenti melangkah. Ilmu apapun berusaha dia kuasai. Hari harinya dihabiskan hanya untuk membaca, berguru dan tenggelam mengasah berbagai ketrampilan yang nggak biasa dikuasai oleh para santri. Berbagai prestasi akademis dan non akademis juga diraihnya. Namanya pun mulai diperhitungkan, bahkan di banyak pesantren yang lain. Singkat kata, Amir telah menjadi santri lengkap tanpa cela. Sosok santri salaf handal yang juga menguasai materi ilmu umum dan berbagai skill secara matang. Semua itu akhirnya mengantarkan Amir menjadi kepala dewan asatidz/guru. Para ustadz-nya kini malah beralih menjadi anak buahnya.
Tak ada gading yang tak retak. Keberhasilan yang terlalu menakjubkan itu pada akhirnya mulai membuat Amir merasa tak terkalahkan. Santri baru luar biasa yang dicintai oleh para ulama didaerahnya. Amir berpikir bahwa nggak seharusnya dia melakukan amaliyah seperti umumnya santri yang lain. Kebetulan di pesantren itu ada waktu-waktu tertentu untuk melakukan wirid / istighosah dan beberapa amaliyah lain yang wajib diikuti oleh semua penghuni pesantren. Amir ingin sesuatu yang beda. Sesuatu yang sesuai dengan levelnya. Amaliyah wajib ala pesantren terlalu ringan untuk Amir.
Di satu pagi Amir menghadap pada Pak Kyai yang memimpin pesantren itu. Dengan PD-nya Amir berkata, “Pak Kyai, saya sudah membuktikan kalau saya adalah santri yang luar biasa. Tolong beri saya amalan yang lebih berat dibanding amalan santri lain”. Pak Kyai tersenyum. Lalu dengan tenang beliau menjawab, “Tiga hari lagi, kamu temui saya”.
Hari demi hari berlalu dengan cepatnya. Hingga tibalah hari yang dinantikan Amir. Dengan penuh semangat, Amir mengucap salam di depan pintu rumah Pak Kyai. Seperti yang sudah-sudah, Pak Kyai dengan wajah tenangnya memandang Amir penuh rasa sayang. Sebuah senyum hangat mengawali dialog mereka di hari itu.
“Amir Anakku…selama 3 hari ini saya terus mengamati kamu. Saya akan memenuhi permintaan kamu. Tapi tolong jawab dulu pertanyaan-pertanyaan saya” ujar Pak Kyai sambil memandang tajam ke arah Amir.
“Amir…sebagai seorang ustadz, kamu pasti tahu cara berwudlu yang paling benar”
“Iya, Pak Kyai”
“Tapi kenapa kamu biasa berwudlu seenaknya? Padahal itu kan bukan sesuatu yang berat”
Amir langsung tertunduk. Dibenaknya langsung terlintas bagaimana dia biasa berwudlu asal sah. Dia bukan nggak bisa berwudlu dengan sempurna. Dia hanya malas melakukannya. Padahal berwudlu secara sempurna bahkan sudah dipelajarinya sebelum masuk ke pesantren.
“Saya juga yakin kalau kamu tahu mestinya masuk kamar mandi itu mendahulukan kaki yang mana. Kalau keluar pakai kaki yang mana dulu. Begitu juga dengan masuk dan keluar dari masjid. Tapi nyatanya kamu tidak benar-benar melakukannya. Padahal itu sangat ringan. Anak kecil pun jelas bisa” lanjut Pak Kyai hingga wajah Amir semakin menunduk pucat.
Pak Kyai lalu berpindah duduk di sebelah Amir. Didekapnya pundak Amir membuatnya semakin salah tingkah. Lalu Pak Kyai mulai membahas satu persatu kelalaian Amir. Mulai dari nggak terbiasa mengisi shof kosong saat berjamaah, nggak biasa melakukan gerakan sholat dengan benar, nggak terbiasa mengucapkan basmalah dan hamdalah ketika makan, bahkan sampai nggak terbiasanya Amir minum sambil duduk. Semua itu selalu diakhiri dengan kalimat “Padahal itu kan ringan. Anak kecil pun bisa”. Amir terpekur. Santri luar biasa itu seakan kehilangan semua kehebatannya. Lalu dengan suara yang berwibawa, Pak Kyai melanjutkan pembicaraannya.
“Kalau yang ringan seperti hal-hal tadi saja kamu belum bisa melaksanakan, bagaimana mungkin kamu merasa bisa melakukan amalan yang berat? Hm…sekarang coba jawab, apakah kamu akan tetap meminta amalan yang berat, Nak?”
Tidak ada sepatah kata pun yang keluar dari bibir Amir selain suara isak tangis. Penjelasan sederhana Pak Kyai serasa seperti sebuah palu godam yang memporakporandakan kesombongannya.
Pak Kyai menutup dialog pagi itu dengan,”Anakku, setinggi apapun ilmu kamu tidak akan berarti jika hanya sekedar menjadi teori. Allah mencintaimu bukan karena sekedar teori. Nak…setinggi apapun juga ilmu kamu, akan selalu ada yang mengalahkanmu. Jadi sampai ajal menjemputmu, jangan pernah berhenti untuk berguru. Karena setiap muslim memang diwajibkan untuk menuntut ilmu hingga mati. Saya diakui oleh orang-orang sebagai seorang Kyai. Tapi sampai hari ini pun saya masih terus berguru”
Hari itu menjadi awal perubahan hidup Amir. Sang santri menakjubkan kini tidak lagi memiliki keberanian untuk mendongakkan kepala. Lalu bagaimana dengan kita yang sering merasa sangat unggul hingga tidak mau lagi mengenal kata kalah?

NB :
Artikel ini saya tulis sesuai dengan kisah yang saya dengar dari narasumber. Tapi beliau tidak berkenan untuk ditulis namanya. Harap maklum.

(El-Fath Satria)

Sabtu, 20 Juli 2013

MY FATHER IS A LIAR



MY FATHER IS A LIAR
I am sure you will say that I am an insolent man. But please understand on me. I just want to tell the truth. Here they are the proofs that my father is really a liar.
The first lie. When I was child, my father had no permanent work. We often hadn’t enough food to eat. But off course my childish mind didn’t understand on it. One day I had meal with my father. I cried. I ask more rice and side dish. Suddenly my father gave his meal to me saying, “Eat it up, My Son. I am not hungry”.
The second lie. One day I saw a kite hanged on a high tree. I asked my father to take it. He refused. But finally my crying forced him climb the tree. He did it. But when he wanted to get down from the tree, he slipped and fell down on the ground. Looking at my worry face, he stood quickly and said, “Don’t worry, My Son. I’ve just tried my new jumping style”.
The third lie. I woke up at 2 am. I found my father cleaned his beloved big radio. He would sale it to the flea market tomorrow morning for my school fee. He yawned for many times. But when we looked each other he said, “Just sleep, My Son. I’m not sleepy”.
The fourth lie. Finally my father got a work. A foreign company gave him sales man as his new carrier. It made my father often went home so late at night. One day my father went home in the night from his company, he found me stretching my feet and back continually. I told him that I was so tired after a football game at my school. Unpredictably my father’s hand touched and massaged my body. I refused for something different with his hand. It’s felt hot. But he said, “I am Superman, My Son. I can’t be tired”.
The fifth lie. Thanks God, I got a work when I still was in a university. On the other side, my father was jobless anymore. The company broke his job for he was too old. How happy I was when I got my first salary. I gave all of it to my father, but he said, “Keep it for your self. I still have enough money in my wallet”.
The sixth lie. My father was lying on his bed, his body was so hot. He coughed for many times. I asked him to go to the doctor, but he didn’t want to go. It made me cried. Unpredictably he gave me a hug and whispered, “I am fine. I just need to take a rest”.
When I typed this article, I was looking at my father sleeping on the chair in the living room. He often slept at there by reading a religion book. Hh…..forgive me, God. Why I’ve just realized that this amazing man is a liar. I love you so much, My Super Father. You are the best superhero ever after in my life.

(El-Fath Satria)

AYAHKU SEORANG PEMBOHONG



AYAHKU SEORANG PEMBOHONG
Mungkin judul di atas terkesan agak lebay. Saya anak durhaka? Tapi pada akhirnya saya memang harus berani jujur, ayah saya memang seorang pembohong. Paling tidak berikut ini beberapa bukti kebohongan ayah saya :
Kebohongan Pertama. Saat saya masih kecil, pekerjaan ayah masih belum menentu. Hingga beberapa kali keluarga saya kekurangan makanan. Tetapi hal seperti itu jelas belum bisa dipahami oleh pemikiran saya. Ketika saya sedang makan bersama ayah, saya merengek. Saya meminta jatah nasi dan lauk yang lebih banyak. Seketika ayah langsung memberikan nasi dan lauk dipiringnya pada saya sambil berkata, “Makanlah jatah ayah, Nak. Ayah tidak lapar”.
Kebohongan ke dua. Pada suatu hari saya meminta ayah untuk mengambilkan buah belimbing di pohon yang ada di pekarangan rumah nenek. Kebetulan saya hanya mau jika diambilkan sebuah belimbing yang tampak menguning di bagian pohon yang agak tinggi. Awalnya ayah menolak. Tapi tangisan saya memaksa ayah akhirnya dengan bersusah payah memanjat pohon untuk mengambil buah belimbing itu. Buah belimbing itu berhasil ayah raih. Tapi pada saat melemparkan buah belimbing itu ke bawah, pegangan ayah saya terlepas. Akibatnya ayah jatuh ke tanah dengan keras. Melihat kekhawatiran di wajah saya, spontan ayah berusaha untuk berdiri. Lalu dengan sebuah senyum khasnya ayah berkata, “Tenang aja, Nak. Ayah memang sengaja lagi mencoba kemampuan melompat ayah”.
Kebohongan ke tiga. Pada jam 2 dini hari saya terbangun. Saya lihat ayah sedang membersihkan radio kuno kesayangannya. Radio itu besok pagi akan dijual ke pasar loak untuk membayar tunggakan SPP sekolah saya. Saya lihat ayah berkali-kali menguap. Tapi saat mata kami saling bertatapan, ayah langsung berkata, “Tidurlah, Nak. Ayah belum mengantuk”.
Kebohongan ke empat. Nasib ayah membaik. Ayah berhasil diterima bekerja sebagai sales di sebuah perusahaan asing. Pekerjaan baru itu membuat ayah harus selalu pulang larut malam. Saat ayah pulang bekerja di satu malam, ayah melihat saya berkali-kali meluruskan punggung dan kaki. Saya katakan kalau badan saya pegal gara-gara praktek materi olah raga tadi pagi di sekolah. Dengan wajah kuyunya, tangan ayah langsung memijat badan saya. Saya menolak karena tangan ayah terasa tidak seperti biasanya. Tangan ayah terasa agak panas. Tapi ayah berkata,”Ayah kamu ini Superman, Nak. Nggak bakalan bisa lelah”.
Kebohongan ke lima. Alhamdulillah beberapa tahun setelah lulus sekolah, saya diterima bekerja. Saat itu ayah kembali menganggur karena PHK pegawai lanjut usia dari perusahaan. Ketika uang gaji pertama saya terima, dengan suka cita saya langsung memberikan sejumlah uang itu pada ayah. Tetapi dengan lembut, ayah berkata, “Simpan aja buat keperluan kamu sendiri, Nak. Kebetulan ayah baru dapat rejeki besar”.
Kebohongan ke enam. Ayah sedang berbaring di ranjang dengan suhu badannya yang meninggi. Berkali-kali ayah tampak menahan agar suara batuknya tidak terdengar terlalu keras. Saya mengajak ayah untuk periksa ke dokter. Tapi ayah menolak. Saya terus memaksa. Tapi ayah saya tetap menolak membuat air mata saya langsung menetes. Dengan ketegarannya yang sudah sangat saya kenal, ayah memeluk saya dan berbisik,” Ayah tidak sakit, Nak. Ayah hanya perlu istirahat”.
Saat ini saya sedang memandangi ayah saya yang sedang berbaring dengan tenangnya di kursi ruang tamu. Ayah memang biasa ketiduran sambil membaca buku di kuri panjang itu. Hhh….mengapa baru hari ini saya menyadari kalau makhluk mulia yang sedang tidur itu adalah seorang pembohong. I love you so much, My Father. You are the best hero ever after in my life.

(Korban Kebohongan Yang Bahagia)