WIRID HEBAT ITU NGGAK ADA
“Eh,
aku habis dikasih wirid ‘sangar’ lho sama Pak Kyai Fulan”. Kalimat berkesan
keren itu seringkali kita dengar di lingkungan kita. Terutama ketika seseorang
mendapatkan sebuah wirid yang kalimat-kalimatnya belum pernah dia dengar. Belum
lagi kalau yang ngasih terus bilang kalau wirid itu adalah wirid yang dulu
biasa diistoqomahkan
oleh salah satu waliyulloh. Hm….emang wirid itu beneran ada yang hebat ya?
Lepas
dari betapa bermanfaatnya keberadaan berbagai perkumpulan Islami (jam’iyah istighotsah,
forum wirid, thoriqoh atau yang sejenisnya) untuk keberlangsungan dakwah,
mestinya kita juga nggak boleh lupa kalau di manaqib Syekh Abdul Qodir al-Jilany
tertulis sebuah keterangan yang menyatakan bahwa di masa itu ribuan ahli
thoriqoh telah sukses disesatkan oleh iblis and friends. Mereka menyesatkan
para jamaah thoriqoh bukan dengan cara menggoda mereka agar melakukan kema’siyatan.
Tapi iblis and friends merangsang munculnya “merasa menjadi istimewa/baik” yang
dengan sendirinya berakhir dengan kesombongan. Kesombongan……sebuah karakter
yang telah membuat Iblis mendapat laknat Allah selamanya.
Wirid
hebat itu nggak ada, Saudaraku. Yang hebat itu hanya Allah. Islam nggak pernah
mengajari kita untuk menjadi ahli wirid. Islam mengajari kita untuk menjadi ahli dzikir,
Ahli mengingat Allah. Seindah dan sebanyak apapun kalimat wirid yang kita baca,
tetap saja itu hanya akan menjadi sebuah wirid kalau wirid itu nggak bisa
menjadi perantara kita untuk semakin ingat dengan Allah. Kalaupun ada kemampuan
luar biasa yang muncul setelah kita mengistiqomahkan sebuah wirid, kemampuan itu
datangnya dari
Allah, bukan dari wirid yang kita baca. Jelas syirik kalau kita
menganggap wirid kitalah yang hebat.
Kenyataannya
masih banyak murid yang kecewa ketika Sang Guru memberinya wirid berupa kalimat
yang sudah sangat dia kenal. Tapi semangatnya seketika membara ketika Sang Guru
mengijazahkan/memberinya sebuah wirid yang kalimatnya baru pertama kali dia
dengar. Padahal bukan kalimat dalam wirid itu yang akan mengantar kita pada
Allah. Tapi tersambungnya hati kita pada Allah di saat membaca wiridlah yang
lebih menjadi penentu.
Jadi
bukankah sangat salah kalau kita masih merasa menjadi muslim yang lebih
sempurna hanya karena perkumpulan yang kita ikuti atau wirid yang kita jalani.
Yang diperhitungkan oleh Allah di padang mahsyar bukan jumlah atau seperti apa wirid
kita, tapi seberapa berdzikir jiwa dan raga kita di saat menjalaninya. Jam’iyah
istighotsah, majlis dzikir, thoriqoh dan yang semacamnya hanyalah jalan yang sudah
seharusnya kita tempuh untuk mendapatkan ridlo Allah. Tapi semua itu akan
percuma saja kalau nggak menjelma menjadi dzikir bagi jiwa dan raga kita.
Yang
jelas, salah satu ciri ahli dzikir yang nggak terbantahkan adalah dia haus akan
kritik dan saran, bukannya malah haus akan pengakuan dan pujian. Semoga kita
tetap dalam bimbingan lembut Allah. Aamiin.
(Pencari Hidayah)